Oleh: Stanislaus Riyanta
Pakar Intelijen dan Keamanan
Koma.id – Peristiwa tertangkapnya remaja berusia 19 tahun yang diduga akan melakukan aksi bom bunuh diri di Malang, Jawa Timur, bukanlah hal mengejutkan.
Model aksi teror yang dilakukan oleh pelaku tunggal (lone actor) dan atau pelaku dalam jaringan keluarga (famili cell) sudah diprediksi dan pernah terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.
Aksi teror pelaku tunggal di Indonesia seperti yang terjadi di Alam Sutera (2015), Bandung (2017), Kertasura (2019), Mabes Polri (2021).
Aksi teror yang dilakukan oleh sel keluarga seperti yang terjadi di Surabaya (2018), Indramayu (2018), Sibolga (2019), Gereja Katedral Jolo Filipina (2019), Medan (2019), dan Makasar (2021).
Pelaku tunggal dalam aksi teror merencanakan dan melakukan aksi teror sendiri, meskipun seringkali niat untuk melakukan aksi tersebut terinpirasi oleh kelompok tertentu, misalnya ISIS yang sangat aktif dalam melakukan propaganda.
Pelaku tunggal aksi teror lebih banyak terpapar ideologi kekerasan secara mandiri (swa-radikalisasi) dengan menggunakan fasilitasi internet.
Pelaku tunggal aksi teror biasanya juga mempelajari cara-cara melakukan teror dari internet, tidak dilatih secara khusus dan langsung, sehingga aksi teror oleh pelaku tunggal biasanya serampangan.
Sel keluarga dalam aksi teror dominan berasal dari pecahan dari kelompok teror yang harus beradaptasi karena tekanan dari aparat keamanan dan intelijen yang cukup kuat.
Aksi teror oleh sel keluarga lebih berbahaya karena dilakukan lebih dari satu orang. Selain itu, sel keluarga biasanya mempunyai kemampuan yang lebih daripada pelaku tunggal, karena sebelumnya sudah pernah dilatih dalam kelompok.
Permasalahan yang terjadi adalah aksi teror oleh pelaku tunggal dan sel keluarga lebih sulit dicegah daripada yang dilakukan oleh kelompok.
Dalam melakukan perencanaan aksi teror pelaku tunggal tidak mendapat arahan atau berkomunikasi dengan pihak lain, sementara sel keluarga hanya berkomunikasi di internal keluarga yang merupakan ruang privat.
Berbeda dengan kelompok yang biasanya menggunakan perangkat komunikasi, bahkan terjadi transaksi keuangan yang dalam kondisi tertentu dapat terlacak oleh aparat keamanan sehingga dapat dicegah.
Sehingga tidak mengejutkan jika dalam beberapa tahun terakhir, aksi teror di Indonesia didominasi oleh aksi teror dengan pelaku tunggal atau sel keluarga.
Aksi teror tidak muncul tiba-tiba, perlu proses yang didahului oleh paparan ideologi kekerasan atau paham radikal.
Pencegahan aksi teror sebaiknya ditarik hingga tahap lebih awal, yaitu pencegahan paparan ideologi kekerasan atau paham radikal tersebut.
Secara teknis membatasi akses terhadap ideologi radikal atau paham radikal bisa dilakukan, namun upaya penyebarannya juga sangat kuat.
Di sisi lain, secara fundamental penguatan ideologi Pancasila kepada seluruh warga negara sangat perlu dilakukan sehingga warga negara Indonesia kebal terhadap paparan ideologi lainnya.
Hal yang sangat berbahaya adalah jika warga negara Indonesia terutama generasi muda tidak tertarik dengan ideologi Pancasila dan lebih tertarik dengan ideologi lain seperti ideologi kekerasan atau paham radikal.
Pertanyaan paling penting atas fenomena di atas adalah bagaimana melakukan pencegahan atas paparan ideologi kekerasan atau paham radikal?
Kata kuncinya adalah pemerintah tidak bisa sendirian. Pemerintah sebagai aktor negara perlu melibatkan aktor nonnegara yang mempunyai kekuatan besar dan masif jika digerakkan dalam satu tujuan bersama.
Aktor nonnegara tersebut bisa masyarakat secara langsung ataupun organisasi masyarakat yang sudah melembaga dengan kuat dan terbukti kesetiannya terhadap Pancasila dan NKRI seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Langkah-langkah yang lebih realistis perlu dilakukan oleh pemerintah, seperti merangkul lebih erat tokoh-tokoh agama termasuk yang berada di kampung atau desa, kelompok perempuan, dan karang taruna dan kelompok masyarakat lainnya.
Penguatan nilai-nilai luhur Pancasila dan perlawanan terhadap ideologi kekerasan atau paham radikal akan lebih kuat jika masyarakat kalangan bawah dilibatkan terutama menggunakan kekuatan ormas seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Meskipun mungkin kurang populis bagi pejabat pemerintah, tetapi merangkul kelompok masyarakat di level bawah akan lebih bermanfaat daripada berbagai seremoni penandatanganan kerja sama, yang kerjanya belum tentu dilakukan.
Kerja melawan ideologi kekerasan atau paham radikal adalah pekerjaan besar, tentu saja pemerintah sudah melakukan banyak hal, terutama dalam menyediakan anggaran, dan tentu saja hal ini harus diapresiasi.
Kerja senyap dari Densus 88 Anti-Teror Polri juga harus diapresiasi yang bisa mencegah puluhan, bahkan ratusan aksi teror.
Namun hal yang lebih besar lagi perlu dilakukan, yaitu melibatkan semua unsur masyarakat untuk melawan ideologi kekerasan.