Oleh Achmad Nur Hidayat (Ekonom UPN Veteran Jakarta)
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 19-20 November 2024 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga BI-Rate sebesar 6,00%.
Keputusan ini ibarat menjaga tempo tarian Rupiah di atas panggung global yang penuh ketidakpastian, memastikan stabilitas langkah nilai tukar dan inflasi dalam batas sasaran.
Namun, tarian ini seolah kehilangan kelenturan pada lantai domestik, di mana konsumsi dan investasi membutuhkan nada yang lebih ringan.
Jika ingin mempertahankan momentum ekonomi, sudah saatnya BI mulai mempertimbangkan menurunkan ritme suku bunga agar pertumbuhan ekonomi domestik lebih leluasa bergerak, tanpa harus kehilangan stabilitas yang selama ini dijaga.
Stabilitas yang Diperlukan di Tengah Ketidakpastian Global
Keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga berada dalam koridor yang logis mengingat risiko ketidakpastian ekonomi global.
Tingginya suku bunga acuan Federal Reserve Amerika Serikat (AS) meski sudah diturunakan 25 basis poin pada 3 pekan lalu, tekanan geopolitik dari perang Ukraina-Rusia, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok memberikan tantangan signifikan bagi stabilitas nilai tukar Rupiah.
Dalam konteks ini, kebijakan BI yang berfokus pada penguatan instrumen moneter pro-market seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan intervensi pasar valas menciptakan perlindungan bagi Rupiah dari volatilitas berlebihan.
Selain itu, langkah mempertahankan suku bunga juga sejalan dengan kebutuhan menjaga daya tarik aset keuangan domestik bagi investor asing.
Dengan mempertahankan suku bunga, aliran modal asing dapat terus masuk ke pasar keuangan Indonesia, membantu memperkuat cadangan devisa dan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan.
Namun, di balik stabilitas ini, ada elemen domestik yang perlu diperhatikan lebih seksama.
Konsumsi rumah tangga, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menunjukkan tanda-tanda melemah.
Hal ini diperburuk oleh penurunan daya beli kelas menengah akibat inflasi di sektor tertentu, seperti pangan dan transportasi.
Membaca Lantai Domestik: Konsumsi dan Investasi yang Melemah
Ekonomi domestik membutuhkan stimulus yang lebih besar untuk mengimbangi lemahnya permintaan global.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga dapat memberikan sejumlah dampak positif, diantaranya :
Peningkatan Konsumsi Rumah Tangga
Ketika suku bunga turun, biaya kredit konsumen seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor menjadi lebih rendah. Ini dapat meringankan beban rumah tangga, mendorong konsumsi, dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Meningkatkan Investasi Dunia Usaha
Dunia usaha, khususnya UMKM dan sektor ekonomi hijau, sering menghadapi kendala dalam mengakses pembiayaan akibat tingginya biaya pinjaman. Penurunan suku bunga akan memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk berinvestasi lebih banyak, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Memperkuat Likuiditas Perbankan
Penurunan suku bunga dapat memberikan dorongan pada pertumbuhan kredit, yang belakangan ini melambat. Dengan kredit yang lebih murah, dunia usaha dapat mengakses modal kerja dengan lebih mudah, memperkuat rantai pasok, dan mendorong aktivitas ekonomi di berbagai sektor.
Mengimbangi Pelemahan Ekspor
Ketidakpastian global menyebabkan pelemahan permintaan ekspor Indonesia. Untuk mengimbangi dampaknya, konsumsi domestik harus menjadi motor penggerak utama perekonomian. Penurunan suku bunga dapat menjadi salah satu langkah strategis untuk mewujudkan hal ini.
Risiko yang Perlu Diantisipasi
Meski penurunan suku bunga dapat memberikan manfaat signifikan bagi perekonomian domestik, ada beberapa risiko yang perlu diantisipasi. Salah satunya adalah kemungkinan pelemahan nilai tukar Rupiah jika suku bunga turun terlalu cepat, terutama di tengah tingginya suku bunga global.
Dalam hal ini, BI perlu memastikan langkah penurunan dilakukan secara bertahap dan didukung oleh kebijakan stabilisasi nilai tukar, seperti intervensi di pasar valas dan penerapan instrumen moneter yang lebih proaktif.
Selain itu, penurunan suku bunga juga harus mempertimbangkan potensi dampaknya terhadap inflasi.
Meskipun inflasi saat ini berada dalam rentang target, dorongan konsumsi akibat penurunan suku bunga dapat menciptakan tekanan inflasi dalam jangka menengah.
Oleh karena itu, koordinasi kebijakan antara BI dan pemerintah menjadi sangat penting, terutama dalam mengendalikan inflasi pangan melalui program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
Menari dengan Nada yang Tepat: Langkah BI ke Depan
Bank Indonesia memiliki peluang untuk menyesuaikan kebijakan suku bunga ke depannya dengan mempertimbangkan beberapa faktor:
Evaluasi Inflasi dan Permintaan Domestik
Dengan inflasi yang terkendali, BI memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga tanpa risiko besar terhadap stabilitas harga. Namun, evaluasi mendalam terhadap tren konsumsi dan investasi domestik perlu dilakukan sebelum keputusan diambil.
Komunikasi Pasar yang Terarah
Jika penurunan suku bunga menjadi opsi, BI harus memberikan sinyal yang jelas kepada pelaku pasar untuk menghindari volatilitas nilai tukar yang tidak diinginkan.
Koordinasi Kebijakan Makroekonomi
Sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal harus diperkuat. Pemerintah perlu memastikan bahwa stimulus fiskal, seperti insentif pajak dan belanja infrastruktur, mendukung kebijakan moneter dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengoptimalkan Instrumen Moneter
BI dapat memanfaatkan instrumen seperti Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) dan Sukuk Valas untuk menjaga stabilitas nilai tukar sembari memberikan ruang bagi kebijakan moneter yang lebih longgar.
Catatan Penting
Tarian ekonomi Indonesia di panggung global membutuhkan keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas.
Keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga adalah langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas dalam jangka pendek.
Namun, dengan kondisi domestik yang membutuhkan stimulus lebih besar, penurunan suku bunga dalam waktu dekat dapat menjadi strategi yang lebih tepat.
Dengan kombinasi kebijakan yang terarah dan komunikasi yang efektif, BI dapat memastikan bahwa Rupiah tidak hanya stabil di atas, tetapi juga mampu melantai dengan langkah yang lebih dinamis di tengah tantangan ekonomi global.