Gulir ke bawah!
Opini

Pajak Gula atau Label Gizi: Arah Kebijakan Sehat yang Berkeadilan untuk Indonesia

14017
×

Pajak Gula atau Label Gizi: Arah Kebijakan Sehat yang Berkeadilan untuk Indonesia

Sebarkan artikel ini
Achmad Nur Hidayat

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Hari ini, Indonesia sedang menghadapi krisis senyap: konsumsi gula berlebih yang diam-diam menggerogoti kesehatan rakyat.

Silakan gulirkan ke bawah

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi obesitas terus naik, bahkan pada anak-anak.

Diabetes melitus kini menjadi penyakit pembunuh terbesar keempat di Indonesia. Pemerintah akhirnya mulai mempertimbangkan dua kebijakan kunci: pajak minuman berpemanis (SSB) dan pelabelan nutrisi ketat.

Namun, muncul pertanyaan: mana yang lebih efektif? Apakah pajak SSB akan menekan konsumsi gula?

Atau cukup dengan label gizi yang memperingatkan masyarakat?

Lebih dari itu, adakah jaminan bahwa kebijakan ini tidak menyengsarakan rakyat kecil atau mematikan industri makanan-minuman lokal?

Belajar dari Meksiko dan Chili: Pajak SSB Lebih Cepat, Label Gizi Lebih Jangka Panjang

Mari kita jujur. Jika bicara efektivitas menekan konsumsi gula, pajak SSB adalah senjata paling tajam. Meksiko sudah membuktikannya.

Sejak 2014, Meksiko menerapkan pajak SSB sebesar 10%. Hasilnya?

Konsumsi minuman manis turun 12% hanya dalam setahun. Bahkan, penurunan terbesar terjadi di kelompok masyarakat miskin, yang paling banyak mengonsumsi minuman berpemanis.

Bagaimana dengan label gizi? Negara seperti Chili sukses menggunakan label peringatan “Tinggi Gula, Garam, Lemak”. Konsumsi SSB di sana turun 24%.

Tetapi, Chili juga melakukan kampanye edukasi nasional besar-besaran. Di Indonesia, di mana literasi gizi masyarakat masih rendah, apakah label saja cukup?

Rasanya tidak.
Jadi, pajak SSB adalah langkah cepat, label gizi adalah strategi jangka panjang. Keduanya harus dikombinasikan, bukan dipertentangkan.

Benarkah Pajak Gula Menyengsarakan Rakyat Miskin?

Argumen klasik menolak pajak SSB adalah soal “pajak ini akan memukul rakyat kecil.”

Benar, pajak SSB memang berdampak pada harga.

Tetapi mari kita balik tanya: Siapa kelompok masyarakat yang paling banyak minum SSB?Siapa yang paling rentan diabetes dan obesitas? Jawabannya: masyarakat miskin.

Pajak SSB bisa menyelamatkan kelompok rentan ini dari beban penyakit kronis yang mahal. Lalu, bagaimana dengan dampak ekonominya? Pajak SSB bisa diarahkan hasilnya (earmarking) untuk subsidi pangan sehat: buah, sayur, susu. Inilah strategi menjaga keadilan.

Seperti Filipina yang memanfaatkan hasil pajak SSB untuk program kesehatan rakyat.

Bagaimana Dampaknya ke Industri?

Industri makanan-minuman tentu khawatir. Mereka takut pelabelan ketat atau pajak SSB akan menurunkan penjualan.

Namun, data dari Inggris dan Thailand menunjukkan hal sebaliknya. Ketika pajak gula diterapkan, perusahaan justru berinovasi, membuat produk rendah gula, tanpa kehilangan pasar. Nestlé, Coca-Cola, Pepsi, Danone di Inggris sekarang menjual versi low-sugar atau sugar-free.

Indonesia bisa meniru model ini. Pemerintah cukup memberi insentif reformulasi produk dan masa transisi. Untuk UMKM, bisa diberi bantuan teknis agar bisa ikut arus inovasi makanan-minuman sehat.

Jangan lupa, pasar global kini justru mencari produk sehat. Jika Indonesia punya standar gizi tinggi, produk lokal bisa bersaing di pasar ekspor, terutama Eropa. Jadi, pelabelan ketat bukan hambatan, tapi peluang dagang baru.

Mengapa Harus Kombinasi Kebijakan?

Jika hanya pajak SSB tanpa label, konsumen hanya akan tahu produk menjadi mahal, tetapi tidak tahu mana produk sehat.

Jika hanya label tanpa pajak, produk sehat tetap mahal, produk tidak sehat tetap murah, dan konsumen tetap beli yang tidak sehat.

Maka, kombinasi pajak SSB dan label gizi adalah jalan tengah yang logis dan efektif. Ini terbukti di Chili. Label memperingatkan, pajak memaksa produsen berubah, dan konsumen mulai memilih produk sehat.

Rekomendasi untuk Pemerintah

Pertama, terapkan pajak SSB dengan skema bertahap, misalnya pajak rendah untuk produk dengan kadar gula sedang, pajak tinggi untuk yang sangat manis. Ini mendorong reformulasi.

Kedua, hasil pajak harus dikembalikan ke rakyat miskin dalam bentuk subsidi pangan sehat dan edukasi gizi. Jangan masuk APBN umum lalu hilang tidak jelas.

Ketiga, terapkan pelabelan nutrisi ketat, dengan simbol yang mudah dipahami masyarakat (misalnya logo warna merah untuk tinggi gula). Sertai kampanye edukasi nasional yang melibatkan tokoh masyarakat, guru, dan media.

Keempat, berikan insentif bagi industri untuk reformulasi produk, dan siapkan bantuan khusus bagi UMKM, agar kebijakan ini tidak mematikan sektor usaha kecil.

Kelima, pastikan kepastian hukum. Jangan sampai kebijakan ini berubah-ubah sesuai tekanan industri. Dunia usaha butuh kejelasan jangka panjang.

Penutup: Arah Indonesia yang Sehat dan Berkeadilan

Kita butuh kebijakan yang berpihak pada kesehatan rakyat, tapi juga adil bagi ekonomi.

Jangan biarkan industri terus menjual produk yang merusak kesehatan hanya demi keuntungan. Jangan juga biarkan rakyat miskin terus terjebak dalam pola makan yang membuat mereka sakit.

Indonesia bisa belajar dari banyak negara, tapi juga harus menyesuaikan dengan karakter bangsa sendiri. Yang pasti, tanpa intervensi negara, industri makanan-minuman tidak akan berubah.

Inilah saatnya pemerintah tegas berpihak pada rakyat, mendorong pola konsumsi sehat, menjaga masa depan generasi muda, dan membangun industri makanan-minuman yang inovatif dan sehat.

Dan langkah itu harus dimulai sekarang, bukan besok.

Jangan lupa temukan juga kami di Google News.