Koma.id – Kepastian rencana pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Perkelapasawitan (RUU Perkelapasawitan) telah bergulir sejak tahun 2015 dan berlanjut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016 sebagai usul inisiatif DPR.
Selanjutnya, pada tahun 2017, masuk kembali dalam Prolegnas sebagai usul inisiatif DPR. Terakhir pada tahun 2019, dari 189 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Tahun 2015-2019, terdapat 55 RUU yang dijadikan RUU Prioritas dalam daftar Prolegnas 2019 dan RUU Perkelapasawitan juga termasuk di dalamnya. Bahkan, DPR RI pada pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2018-2019 menargetkan RUU Perkelapasawitan dapat disahkan menjadi UU pada masa sidang III 2018-2019.
Rencana pembentukan RUU Perkelapasawitan sejak awal sampai saat ini telah menimbulkan berbagai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat, baik yang bersifat mendukung atau menolak. Dinamika tersebut merupakan hal yang wajar dan harus ditanggapi secara positif, mengingat kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis Indonesia, baik dari kalangan dalam negeri ataupun luar negeri.
Beberapa elemen masyarakat telah menyampaikan berbagai pandangannya, antara lain materi muatan RUU Perkelapasawitan dinilai hanya mengakomodasikan kepentingan pelaku usaha yang berbentuk perusahaan atau konglomerasi. Berikutnya ada yang berpandangan bahwa materi muatan yang diatur dalam RUU Perkelapasawitan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun Perkebunan dan undang-undang lainnya.
Selain itu, Penyusunan RUU Perkelapasawitan dinilai kurang melibatkan partisipasi publik. Ditambah lagi terdapat isu yang dikaitkan dengan penggunaan areal lahan gambut, hutan, dan dalam sengketa untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
Pada sisi lain, terdapat beberapa hal atau isu yang dituntut untuk dimasukkan dalam RUU Perkelapasawitan, antara lain, terkait proses uji tuntas persoalan HAM dalam perkebunan kelapa sawit, perlindungan terhadap masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat, isu perusakan dan/atau kerusakan lingkungan hidup, perhatian terhadap standarisasi dengan pendekatan HAM, pelaksanaan ISPO agar dipertegas dan diperkuat, insentif bagi pekebun, penegasan definisi pembukaan lahan ramah lingkungan, perlindungan pekerja/tenaga kerja, perizinan yang masih tumpang tindih, dana bagi hasil, dan kelembagaan (Badan Pengelola Perkelapasawitan Indonesia-BPPI).
Melansir laman GAPKI, merespon dinamika yang ada dan mengakomodasikan berbagai tanggapan, RUU Perkelapasawitan harus bisa memperhatikan minimal 3 (tiga) aspek, yaitu, aspek filosofis, aspek yuridis, maupun dari aspek sosiologis.
Pertama, dari aspek filosofis, RUU tentang Perkelapasawitan diharapkan dapat menjadi instrumen hukum dalam mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan secara lahir dan batin bagi para pemangku kepentingan kelapa sawit dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kedua, dari aspek yuridis. RUU tentang Perkelapasawitan harus memperhatikan beberapa hal secara yuridis, antara lain, harus merujuk pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Perencanaan penyusunan RUU tentang Perkelapasawitan dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Apabila RUU tentang Perkelapasawitan akan dimasukkan dalam Prolegnas sebagaimana dimaksud maka penyusunannya harus didasarkan atas perintah UUD RI 1945, perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; perintah undang-undang lainnya; sistem perencanaan pembangunan nasional; rencana pembangunan jangka panjang nasional; rencana pembangunan jangka menengah; rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
RUU tentang Perkelapasawitan juga harus memperhatikan dengan cermat mengenai materi yang akan diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya, misalnya, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan lainnya.
RUU tersebut harus mempunyai konsepsi yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan yang dituangkan secara tegas dan jelas. Materi yang diatur sebagaimana dimaksud disusun melalui pengkajian dan penyelarasan serta dituangkan dalam suatu Naskah Akademik.
Sebagaimana dikemukakan di atas, materi muatan yang akan diatur dalam RUU tentang Perkelapasawitan, antara lain, harus berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD RI 1945. Terkait hal ini secara khusus dapat merujuk pada ketentuan Pasal 33 UUD RI 1945.
Materi muatan yang akan diatur dalam RUU tentang Perkelapasawitan dapat diasumsikan merupakan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pernyataan ini sekaligus dapat dikaitkan dengan aspek ketiga, yaitu aspek sosiologis.
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mengatur bahwa yang dimaksud dengan “komoditas Perkebunan strategis tertentu” adalah komoditas Perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, antara lain, kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, tebu, dan tembakau.
Kelapa sawit merupakan potensi pengembangannya cukup besar. Hal ini dapat dilihat, antara lain, dari kesesuaian dan potensi lahan serta iklim Indonesia untuk pengembangan tanaman kelapa sawit.
Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, luas lahan di Indonesia yang sesuai dan berpotensi untuk perkebunan kelapa sawit yaitu 46.904.116 hektar, dengan rincian yang berpotensi tinggi 24.878.579 hektar, berpotensi menengah 3.377.106 hektar, dan berpotensi rendah 18.648.431 hektar. Sementara total luas areal kelapa sawit di Indonesia berdasarkan angka sementara pada tahun 2018 yaitu 14.327.093 hektar, maka lahan berpotensi atau sesuai yang sudah termanfaatkan baru 30,5% dan yang belum termanfaatkan 32.577.023 hektar (69,5%).
Data Statistik Perkebunan-Direktorat Jenderal Perkebunan menunjukkan bahwa total luas areal kelapa sawit di Indonesia berdasarkan angka sementara tahun 2018 yaitu 14.327.093 hektar. Terdiri dari perkebunan rakyat 5.811.785 hektar (40,6%), perkebunan besar negara 634.690 hektar (4,4%) dan perkebunan besar swasta 7.880.617 hektar (55%).
Berdasarkan wilayah, persebaran luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2018 terbesar berada di Sumatera (59,6%), diikuti oleh Kalimantan (34,7%), dan Sulawesi (3,8%). Sementara produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia berdasarkan angka sementara pada tahun 2018 sebesar 40.567.230 ton, dengan rincian produksi perkebunan rakyat 13.999.750 ton (34,5%), perkebunan besar negara 2.077.854 ton (5,1%), dan perkebunan besar swasta 24.489.625 ton (60,4%).
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kelapa sawit Indonesia juga dikelola oleh pekebun (perkebunan rakyat). Dimana dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit pekebun/rakyat mempunyai karakteristik tertentu, salah satunya harus bermitra dengan perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit. Selanjutnya permasalahan terbesar di lapangan dalam pengelolaan kelapa sawit Indonesia saat ini yaitu perkebunan kelapa sawit pekebun/rakyat.
Kelapa sawit mempunyai peran bagi kepentingan nasional diantaranya,
1) Sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja, berdasarkan angka sementara tahun 2018 sekitar 2.673.810 petani (KK) terserap di on-farm sawit dan sekitar 4.422.226 tenaga kerja (KK) yang menggantungkan hidupnya terhadap kelapa sawit;
2) Salah satu sarana penanggulangan dan pengurangan kemiskinan;
3) Sarana pembangunan remote area, daerah pedesaan, termasuk wilayah perbatasan;
4) Berdasarkan hasil pemilihan komoditas unggulan ekspor (winning commodities), minyak sawit merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia;
5) Minyak sawit dan produk turunannya menyumbang pendapatan ekspor non migas dengan nilai ekspor pada tahun 2018 terus meningkat 8% dari tahun 2017 yaitu mencapai 34,71 juta ton dengan nilai mencapai lebih dari US$ 14,4 Milyar;
6) PDB Perkebunan Indonesia Tahun 2016 mencapai Rp 429 Triliun, kelapa sawit sendiri menyumbang PDB sebesar Rp 260 Triliun, sedangkan migas Rp 365 Triliun;
7) Penyumbang penerimaan Pajak Ekspor;
8) Pendukung bahan baku industri dalam negeri;
9) Sebagai sumber pangan dan energi yang berupa minyak goreng dan biofuel; dan
10) Tidak banyak kegiatan ekonomi, apalagi pada level komoditas, yang dapat berkontribusi yang begitu besar, inklusif, luas dan mempunyai daya saing seperti pada kelapa sawit.
Sementara peran penting kelapa sawit untuk kepentingan global, diantaranya,
1) Minyak sawit merupakan minyak nabati dengan produksi dan konsumsi paling tinggi di dunia. Pada tahun 2017/2018, produksi minyak sawit mencapai porsi 51,51% dari total produksi empat minyak nabati utama, sementara Palm Kernel Oil 5,58%, minyak kelapa 2,07%, dan minyak kedelai 40,85%. Untuk konsumsi, minyak sawit berkontribusi 50,32% dari total empat minyak nabati tersebut, dimana Palm Kernel Oil 5,63%, minyak kelapa 2,08%, dan minyak kedelai 41,98%;
2) Kelapa sawit Indonesia turut serta menyumbangkan bahan baku energi berupa biodisel bagi dunia dengan jumlah ekspor sebesar 1,56 juta ton pada tahun 2018;
3) Saat ini minyak sawit dikonsumsi lebih dari 160 negara di dunia; dan
4) Kelapa sawit turut serta dalam perbaikan kualitas lingkungan global.
Selain itu, terdapat beberapa potensi yang terkandung dalam kelapa sawit, diantaranya,
1) Minyak kelapa sawit bisa dimanfaatkan sebagai minyak makan, oleo kimia, energi;
2) Limbah padat dan cairnya bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pupuk, dan energi;
3) Kayu kelapa sawit eks peremajaan bisa digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan; dan
4) Sumber pangan yaitu sebagai sarana pengembangan tanaman pangan intercrop (jagung dan palawija) selama kanopi belum menutup.
Yang tidak kalah penting untuk disimak adalah peran kelapa sawit terhadap lingkungan hidup, diantaranya,
1) tanaman kelapa sawit dinilai dapat berperan dalam pelestarian daur CO2, H2O, dan O2 melalui fotosintesis dan respirasi – evapotranspirasi;
2) Perkebunan kelapa sawit secara netto adalah penyerap CO2 yakni 64,5 ton CO2/Ha/tahun;
3) Perkebunan kelapa sawit bagian solusi dari pemanasan global;
4) Pelestarian plasma nutfah; dan
5) Pelestarian multifungsi perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu, agribisnis kelapa sawit, khususnya di Indonesia dapat dikatakan sebagai agribisnis yang Pro-Growth, Pro-Job, Pro-Poor, Pro-Devisa, Pro-Environment. Di samping itu, juga sesuai dengan The Tripple Bottom Line yaitu 3 P: People, Planet, Profit. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan berbagai peran kelapa sawit Indonesia baik untuk kepentingan nasional maupun global, dan dari Multiaspek baik aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.
Diantara sekian banyak peran penting dan keunggulannya, kelapa sawit Indonesia juga memiliki berbagai kelemahan, permasalahan dan tantangan serius, baik dari sudut pandang isu ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup dan terkait hukum. Apabila tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat akan berpotensi merugikan kelapa sawit Indonesia.
Salah satu kelemahan, permasalahan dan tantangan penting yang dihadapi dari dalam negeri terkait pengembangan dan pengelolaan kelapa sawit Indonesia yaitu belum sepenuhnya tercipta kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum dalam pengaturannya. Padahal hukum sejatinya bertujuan untuk menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum.
Menurut hemat kami, meskipun pengaturan pengembangan dan pengelolaan kelapa sawit di Indonesia telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan berbagai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan, namun belum sepenuhnya dapat mewujudkan tujuan hukum, utamanya kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum.
Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan tersebut dinilai belum mengatur tentang pengelolaan kelapa sawit secara komprehensif dan terintegrasi sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum. Pernyataan tersebut ditunjukkan dengan masih adanya beberapa pengaturan yang masih belum jelas dan tuntas serta belum sepenuhnya mampu menjawab berbagai persoalan di lapangan.
Sebagai salah satu contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2019 tentang Perkebunan memang sebagai undang-undang pokok yang juga mengatur terkait pengelolaan kelapa sawit. Namun demikian, undang-undang ini masih bersifat umum, mengatur dan berlaku untuk 127 komoditas perkebunan secara umum dan terbatas pada usaha budidaya atau hulu serta industri pengolahan produk primer. Sementara pengelolaan kelapa sawit mempunyai karakteristik yang spesifik dan memiliki keterkaitan serta keterpaduan hulu-hilir untuk mencapai hasil yang maksimal.
Pengaturan terkait kelapa sawit saat ini juga dinilai belum sepenuhnya konsisten antara aturan satu dengan lainnya, bahkan masih terdapat pengaturan, baik pada level undang-undang maupun peraturan pemerintah, yang justru kontraproduktif dan menghambat pengelolaan kelapa sawit. Beberapa aturan tersebut, antara lain,
pertama, pengaturan tentang Pembukaan Lahan dengan Cara Membakar yang dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
kedua, terkait Penghimpunan Dana Kelapa Sawit yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, ada perbedaan pengaturan yang ditunjukkan dalam ketentuan Pasal 93 ayat (4);
ketiga, Pengelolaan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut;
keempat, Kewajiban Pemenuhan Bahan Baku Pabrik Kelapa Sawit sebesar 20% dari kebun sendiri, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
kelima, terkait kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
keenam, terkait Ketinggian Air terkait Lahan Gambut telah diatur dalam Permentan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar; dan
ketujuh, tentang HGU dan Tata Ruang telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU.
Kondisi tersebut tentu harus segera diselesaikan, antara lain, dengan menginventarisasi dan mengidentifikasi beberapa aturan dan/atau kebijakan yang terkait pengelolaan kelapa sawit di Indonesia, untuk selanjutnya diharmonisasi dan dilakukan unifikasi dalam suatu undang-undang dalam rangka menuju adanya kepastian hukum. Dengan dibukanya peluang dan pembahasan tentang legislasi RUU Perkelapasawitan atas prakarsa DPR RI maka para pemangku perkelapasawitan Indonesia seharusnya lebih responsif menindaklanjuti dinamika tersebut sehingga segera bisa terwujud menjadi UU.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya perkembangan terakhir, dimana pada pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2018-2019, DPR RI menargetkan RUU Perkelapasawitan yang selama ini sudah masuk sebagai RUU Prioritas dalam daftar Prolegnas 2019, dapat disahkan menjadi UU pada masa sidang III 2018-2019. Namun ternyata hingga 2024 masih juga terealisasikan.
Dengan demikian, berdasarkan aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis di atas, pertama, RUU tentang Perkelapasawitan diharapkan dapat menjadi instrumen hukum dalam mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan secara lahir dan batin bagi para pemangku kepentingan kelapa sawit dan bangsa Indonesia pada umumnya.
RUU Perkelapasawitan idealnya harus menjadi salah satu instrumen hukum yang responsif sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai isu, masalah, hambatan, tuntutan, kelemahan, permasalahan dan tantangan serius dalam pengelolaan kelapa sawit, baik dari sudut pandang isu ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup dan terkait hukum. Pada akhirnya, diharapkan menjadi salah satu instrumen hukum ekonomi yang penting di Indonesia dalam rangka mewujudkan stability, predictability, dan fairness dalam pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya melalui pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
RUU Perkelapasawitan sudah seharusnya bersifat Lex Specialis dari UU Perkebunan dan UU terkait lainnya serta berbagai pengaturan dalam keenam RUU yang terkait dengan pengelolaan kelapa sawit yang saat ini masuk dalam RUU Prioritas dalam daftar Prolegnas 2019.
Diharapkan, RUU Perkelapasawitan ini mengatur tentang Grand Strategy guna penguatan pengelolaan kelapa sawit Indonesia mulai dari fase budidaya, industri pengolahan hasil, jasa dan perdagangan kelapa sawit.
Sehingga lahirnya RUU Perkelapasawitan diharapkan dapat menciptakan Indonesia Palm Oil Incorporated sehingga akan sejalan dengan tujuan terpenting hukum ekonomi Indonesia yaitu dapat mencegah disintegrasi bangsa, mendorong pertumbuhan ekonomi keluar dari krisis dengan sukses, dan meningkatkan kesejahteraan sosial bagi semua lapisan masyarakat. Akhirnya, para pemangku perkelapasawitan Indonesia sudah seharusnya secara responsif untuk menindaklanjuti dinamika pembahasan RUU Perkelapasawitan sehingga bisa segera terwujud menjadi UU.