Koma.id – Koalisi Masyarakat Sipil merespons wacana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. DPR disebut bakal membahas revisi beleid itu pada Selasa, 21 Mei 2024.
Mewakili Koalisi, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyebut terdapat beberapa poin dalam draf revisi yang menjadi perhatian pihaknya. Pertama, terkait perluasan fungsi TNI sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Gufron menyoroti fungsi keamanan.
“Di negara demokrasi, fungsi militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang disiapkan, dididik, dan dilatih untuk perang. Oleh karena itu, meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi,” kata Gufron dalam keterangan tertulis, Senin, 20 Mei 2024.
Kedua, terkait pencabutan kewenangan presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Hal itu mestinya dipertahankan dan tak boleh dicabut dalam UU TNI, mengingat Pasal 10 UUD 1945 mengamanatkan Presiden sebagai kekuasaan tertinggi atas TNI.
“Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI,” kata dia.
Ketiga, terkait perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 ini dinilai menunjukkan keinginan pelibatan militer dalam urusan sipil, termasuk mengawal proyek pembangunan pemerintah.
Keempat, kata Gufron, mengenai perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Usulan yang tercantum dalam draf revisi UU TNI Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI.
Kelima, sebut Gufron, yakni arah revisi yang memperkuat impunitas anggota militer. Tergambar dalam usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum.
“Bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998,” kata dia.
Terakhir, terkait perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Rencana revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan.
Hal ini, kata Gufron, dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU TNI. Aturan diusulkan berubah dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai anggaran pertahanan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menjadi ‘TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara’.
“Perubahan ini menunjukan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan,” kata Gufron.