Koma.id – Revisi Undang-undang Kejaksaan menimbulkan sejumlah kontroversi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah memasukkan UU tentang Perubahan Kedua atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI, sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan terus menuai penolakan. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Dewan Pimpinan Nasional Lembaga Kajian Dan Peduli Hukum Indonesia, Ismail Marasabessy.
Menurut Ismail, RUU Kejaksaan hanya akan membuat Kejaksaan menjadi lembaga super power.
Selain itu, lanjut dia, RUU Kejaksaan dinilai berpotensi melemahkan sistem hukum dan berpeluang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan Jaksa di Indonesia.
“RUU Kejaksaan harus ditolak karena berpotensi membuat Kejaksaan menjadi lembaga super power. Penyusunan RUU Kejaksaan ini sangat tergesa-gesa sekali, di tambah tidak memenuhi meaningful participant dimana ada hak masyarakat untuk di dengar, dipertimbangkan pendapatnya,” ucap Ismail saat di temui di Pengadilan Jakarta Pusat.
“Selain itu, peraturan ini sangat rawan disalah gunakan. Jika dilihat lebih dalam lagi RUU ini malah menyebabkan disharmonisasi karena danya tumpang tindih dari berbagai undang-undang yang sudah ada sebelumnya,” tambahnya.
Ismail Marasabessy mengatakan, dalam RUU Kejaksaan ada beberapa item yang harus dikaji ulang yaitu Pasal 8 ayat (5) menyebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, Pasal 11 A ayat 2 Rangkap Jabatan, Pasal 30 B huruf ‘b’ Menciptakan Kondisi yang Mendukung dan Mengamankan Pelaksanaan Pembangunan, dan Pasal 30 B huruf ‘e’ pengawasan multimedia.
Ismail Marasabessy selaku Pendiri DPN LKPHI Serta LBH LKPHI menilai pasal-pasal tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, kewenangan yang luas itu berpotensi disalahgunakan. Bahkan menimbulkan impunitas hukum.
“Pada praktiknya jaksa juga menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Padahal, baik dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan asas hukum lex specialis, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan jaksa sebagai penyidik, melainkan sebagai penuntut umum,” pungkasnya.