Koma.id, SURABAYA – Tumpang tindih kewenangan kepolisian dan kejaksaan terus menjadi sorotan, salah satunya dari Pakar Hukum Administrasi Unair Prof Dr Sri Winarsi, S.H., M.H.,
Prof Winarsi menilai tumpang tindih itu menggambarkan minimnya harmonisasi antarlembaga penegak hukum. Selain itu, berpotensi melemahkan sistem penegakan hukum, bahkan mengancam efektivitas pendekatan restorative justice.
“Penjelasan umum dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 memperlihatkan arah hukum politik pembentukan UU untuk mengakomodasi prinsip prosecutorial discretion dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Artinya, kejaksaan menjadi memiliki kewenangan yang besar,” ujar Winarsi dalam keterangan tertulis, Selasa (4/2).
Dia menyoroti Pasal 30B huruf a UU Kejaksaan yang dinilai ambigu. Menurutnya, tidak ada definisi jelas soal ruang lingkup intelijen penegakan hukum.
“Kekaburan itu bisa menjadi celah kejaksaan mengintervensi kewenangan penyelidikan kepolisian,” katanya.
Menurutnya, prinsip diferensiasi fungsional dalam KUHP, di mana polisi sebagai penyelidik/penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut kini terancam.
“Kalau batas kewenangan tak jelas, kedua lembaga ini justru saling tumpang tindih, bukan bersinergi,” ujarnya.
Hal itu bisa membuat check and balance melemah. Pengawasan tugas menjadi sulit. Potensi penyalahgunaan wewenang makin terbuka, apalagi jika satu lembaga merasa over power.
Kemudian restorative justice berpotensi tersandera karena aturan Kapolri dengan peraturan jaksa berbeda
Winarsi memberikan contoh Peraturan Kapolri Nomor 8/2021 tentang penanganan tindak pidana berbasis keadilan restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 tentang penghentian penuntutan dengan pendekatan serupa.
“Ketika kewenangan tak jelas, proses restorative justice justru lambat. Tidak ada yang merasa punya tanggung jawab penuh,” ucapnya.
Seharusnya, prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam hukum administrasi menjadi kunci sukses pendekatan ini.
Hal itu juga akan berdampak pada legitimasi hukum merosot, jika aparat terlihat bersaing, bukan kolaborasi.
“Potensi penyalahgunaan wewenang meningkat, merugikan warga. Restorative justice yang diharapkan sebagai solusi justru terhambat,” kata dia.
Winarsi menegaskan solusi utama adalah reformasi hukum komprehensif. Pemerintah harus mempertegas pembagian kewenangan, harmonisasi regulasi, dan penguatan pengawasan antar-lembaga. Dia juga mendorong penegakan prinsip proporsionalitas. Tidak boleh ada lembaga super body.
“Kewenangan harus seimbang agar check and balance bekerja optimal,” pungkasnya.