Jakarta – Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam masa pemerintahan awalnya berencana menghidupkan kembali program Transmigrasi di Tanah Papua yang sudah lama distop sejak tahun 2008 melalui Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15/2008. Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanegara, pada rapat dengar pendapat di Gedung DPR/MPR Selasa 29 Oktober 2024 mengklaim bahwa proyek transmigrasi dapat membuat tingkat kesejahteraan orang Papua sejajar dengan warga di wilayah barat Indonesia.
Sadar ditentang oleh banyak masyarakat Orang Asli Papua (OAP), beliau berdalih transmigrasi di Papua kemungkinan akan lebih difokuskan dalam bentuk transimgran lokal, dimana penduduk yang tinggal di salah satu bagian Papua, kemudian dipindahkan ke wilayah Papua lainnya dengan pertimbangan tertentu. “Di Papua misalnya, transmigrasi tuh tidak harus selalu dari Jawa Ke Papua” Ucap beliau.
Achmad Fanani Rosyidi, Pengamat HAM dan Papua menilai ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari menghidupkan kembali kebijakan Transmigrasi di Papua. Ia menegaskan bahwa program transmigrasi ke Papua adalah pola kemunduran.
“Menjalankan kembali program transmigrasi di Papua merupakan sebuah kemunduran dan mengulangi pola lama pembangunan yang selama ini menjadi sumber masalah yang ada di Tanah Papua.” ucapnya dalam pernyataan tertulis, Senin (4/11/2024).
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pernyataan Menteri Transmigrasi ini tentu bertentang dengan fakta bahwa kebijakan tersebut selama ini menimbulkan banyak ketimpangan, konflik horizontal, dan ancaman bagi eksistensi OAP di Tanah Papua.
Ia juga meragukan dalih pemerintah dalam kebijakan tersebut yang akan menerapkan transmigran dari penduduk lokal OAP, Karena faktanya kebijakan transmigrasi pemerintah selama ini dilakukan semenjak era Soeharto tahun 1966 selalu memindahkan orang luar Papua ke wilayah Tanah Papua.
Berdasarkan data BPS rentang tahun 1971 -2000 menunjukkan OAP mengalami depopulasi, pertumbuhan penduduk OAP lebih rendah sebesar 1,84% dibanding penduduk nonpapua sebesar 10,82%.
“Selama ini proyek Transimgrasi di Tanah Papua cenderung dijadikan alat untuk memuluskan serta mengamankan proyek Pemerintah dan Pengusaha dalam mengeksploitasi Sumber Daya Alam di untuk kepentingan segelintir elit.” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan menghidupkan kembali transmigrasi Papua faktanya bersumber dari suara elit pemerintahan pusat dan bukan merupakan kebijakan yang muncul dari aspirasi masyarakat OAP, bahkan banyak mendapat penolakan dari OAP.
“Pemerintah perlu membatalkan rencana kebijakan transmigrasi di Papua dan lebih memprioritaskan untuk mengentaskan masalah indeks pembangunan manusia di Tanah Papua yang selalu menempati urutan terendah di Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan yang mengedepankan pelibatan secara langsung OAP sangat penting, dalam hal mengentaskan permasalahan kesehatan, pendidikan, perlindungan hak ulayat, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, dan melibatkan OAP dalam pembangunan di Papua dengan pendekatan yang lebih inklusif.” pungkasnya.