Koma.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terus mendapat sorotan. Selain dari komunitas pers dan organisasi masyarakat sipil. Kritik juga datang dari pegiat dunia maya.
Direktur Remotivi, Yovantra Arief menilai, industri penyiaran konvensional sudah dikuasai segelintir korporasi. Namun, dalam draf RUU Penyiaran, ada upaya untuk menguasai penyiaran digital yang selama ini menjadi tempat berekspresi masyarakat, termasuk jurnalisme warga dan konten kreator.
“RUU Penyiaran ingin memaksakan aturan penyiaran konvensional, seperti TV dan radio kepada penyiaran digital. Adanya pengaturan ketat terhadap penyiaran digital berpotensi melanggar hak kelompok rentan, yang tidak direpresentasikan penyiaran konvensional,” ujar Arief dalam keterangan persnya, Selasa (21/5/2024).
Dia menjelaskan, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan sensor dan mengawasi konten di ranah digital dalam draf RUU Penyiaran, berpotensi membatasi kebebasan berekspresi masyarakat, khususnya para konten kreator.
“Ini patut disesalkan, dan mendapat perhatian seluruh kalangan,” imbuhnya.
Senada, Direktur SAFEnet Nenden Sekar Arum menegaskan, ruang digital merupakan ruang publik. Karena itu, adanya upaya penyensoran terhadap konten digital akan mempersempit kebebasan berekspresi di ruang publik.
Pegiat Jakarta Feminist Astried Permata mengatakan, RUU Penyiaran juga berdampak pada perempuan, anak muda dan pekerja seni. Jika KPI merambah ke platform digital, setiap orang yang memproduksi konten di media sosial bisa masuk pengawasan KPI.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, draf RUU Penyiaran masih berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dia menegaskan, seluruh pasal dalam draf RUU tersebut belum dilakukan pembahasan dengan Pemerintah.
Meutya berjanji, Komisi I DPR akan membuka ruang seluas-luasnya terhadap berbagai masukan terkait RUU Penyiaran.
“Komisi I DPR telah dan akan terus membuka ruang bagi berbagai masukan, mendukung diskusi dan diskursus untuk RUU Penyiaran sebagai bahan masukan dalam pembahasan RUU Penyiaran,” kata dia.
Di media sosial X, netizen banyak yang khawatir soal aturan RUU Penyiaran yang ingin mengawasi dan mengatur konten-konten yang di ranah digital.
Akun @Denaaja heran dengan adanya upaya membatasi dan menyensor konten di dunia digital. Padahal, platform digital sudah menyediakan pengaturan dan pengawasan sendiri.
Senada, akun @Hyperspeaker mengatakan, masing-masing platform digital sudah memiliki aturan dan kebijakan soal konten yang bisa naik. “Platform digital dan sosial media, punya universe dan aturan sendiri, serta ketentuan platform yang bersifat global. Verifikasi konten lewat KPI, bisa jadi cara membungkam kebebasan berekspresi. KPI ngapain ngurusin platform digital juga,” cuitnya.
Akun @alvitosendin07 menyatakan, para konten kreator resah dengan isi RUU Penyiaran. Sebab, RUU tersebut bakal menyusahkan mereka dalam membuat konten. “Mungkin aturan soal kebebasan pers, aku yakin nggak bakal disahkan! Kalau sampai disahkan, insan pers dan para konten kreator bakal ngamuk, karena mereka terancam nganggur,” cetusnya.
Akun @birokayumanis menambahkan, dampak RUU Penyiaran akan merembet ke mana-mana. “Kalau RUU Penyiaran disahkan, yang bakal kena bukan cuma jurnalis. Musisi, pembuat film, pembuat konten, juga disapu bersih. Nggak ada RUU begituan aja udah susah nyari nafkah lewat konten,” keluhnya.
Sementara, akun @kroteza mengaku bingung dengan aturan verifikasi konten dalam RUU Penyiaran. “Verifikasi konten bikin repot aja. Bayangkan, berapa banyak konten kreator di Indonesia yang mesti ngantre verifikasi ke KPI setiap mau naikin konten,” sebutnya.