Koma. id- Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ribka Tjiptaning Proletariyati, menjadi sorotan intens media setelah menjalani pemeriksaan selama empat jam di Gedung Merah Putih KPK K4, Jakarta Selatan. Pemeriksaan tersebut terkait dengan dugaan korupsi proyek pengadaan sistem proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemenakertrans) pada tahun 2012, dengan anggaran mencapai Rp20 miliar yang diduga dipergunakan secara melanggar hukum.
Ribka, yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009-2014, diperiksa terkait pengawasan anggaran Kemenakertrans pada masa kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Setelah menjalani pemeriksaan, Ribka menyampaikan kepada awak media bahwa ia hanya menjelaskan tupoksinya di DPR terkait pembahasan anggaran.
“Cuma menjelaskan tupoksinya di DPR gimana membahas anggaran,” ujar Ribka kepada awak media usai pemeriksaan, Kamis (1/2/2024).
Pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK terhadap Ribka melibatkan 15 pertanyaan, namun ia enggan mengungkap materi-materi pemeriksaan tersebut.
“Kurang lebih 10-15 lah. Nanya kenal si ini kenal si ini. Sudah lupa semua sudah blank. Sudah 12 tahun yang lalu,” tambah Ribka.
Kasus ini juga menyeret beberapa nama lainnya, termasuk Reyna Usman (RU), eks Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kemnaker serta politikus PKB, dan I Nyoman Darmanta (IND); serta Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM), Karunia (KRN) yang semuanya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Reyna dan I Nyoman telah ditahan sejak Kamis (25/1/2024) pekan lalu, sementara Karunia baru ditahan pada Senin (29/1/2024). Kasus ini berakar dari dugaan pengondisian proyek pengadaan proteksi TKI dengan nilai kontrak anggaran Rp20 miliar oleh Reyna pada tahun 2012.
Keduanya diduga melakukan rekayasa pemenang lelang proyek dengan menunjuk perusahaan Karunia, PT Adi Inti Mandiri. Proyek tersebut ternyata tidak sepenuhnya rampung dan beberapa item software maupun hardware tidak sesuai dengan spesifikasi. Hasil audit dari BPK menyatakan bahwa negara dirugikan sebesar Rp17,6 miliar akibat kasus ini. Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan nama-nama yang sebelumnya terkait erat dengan kepemimpinan Kemenakertrans pada periode tersebut.