Koma.id, Jakarta – Komisi VIII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Haji dan Umrah yang dihadiri Ketua MUI dan para ketua umum organisasi masyarakat (ormas) Islam, Rabu (19/2/2025). Agenda utama adalah menjaring masukan terkait revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Ketua Panja, Singgih Januratmiko, menekankan urgensi revisi undang-undang ini untuk menyesuaikan dengan dinamika perubahan kebijakan di Arab Saudi dan tuntutan digitalisasi layanan haji.
“Target kami, dalam dua kali masa sidang, revisi ini bisa rampung,” ujar Singgih Januratmiko, Rabu (19/02/25).
Singgih berharap undang-undang yang baru dapat berlaku jangka panjang, tidak hanya lima tahun lalu direvisi lagi.
Perwakilan MUI mengapresiasi langkah DPR dan berharap revisi ini dapat meningkatkan pelayanan haji dan umrah. Isu kelembagaan penyelenggaraan haji menjadi salah satu poin penting yang diangkat.
“MUI memahami perlunya pembenahan aspek kelembagaan, agar penyelenggaraan haji bisa lebih fokus dan efisien,” ujar perwakilan MUI.
Perwakilan PBNU, Ishfah Abidal Aziz, menyoroti perubahan kebijakan yang cepat di Arab Saudi yang membuat regulasi di UU 8/2019 menjadi tidak relevan. Ia mengusulkan kuota haji Indonesia tidak lagi dibagi antara reguler dan khusus, melainkan berbasis layanan.
“Jika Saudi mencapai target 6 juta jemaah di 2030, dan Indonesia mendapat tambahan kuota signifikan, kita harus siap mengelolanya,” tegas Ishfah Abidal Aziz, Perwakilan PBNU.
Ia juga menyinggung soal perlindungan jemaah non-kuota atau mujamalah yang belum diatur secara jelas.
Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Abdul Rohim Ghazali, menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana haji. Ia juga menyoroti tumpang tindih kewenangan antar lembaga penyelenggara haji.
“Regulasi kelembagaan harus jelas, jangan sampai ada tumpang tindih,” kata Abdul Rohim Ghazali.
Peningkatan kualitas pelayanan, digitalisasi layanan, serta peningkatan kualitas bimbingan dan edukasi juga menjadi perhatian Muhammadiyah.
Sekjen DPP PUI, Kana Kurniawan, menyoroti pasal 2 tentang asas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Ia menggarisbawahi perlunya penyesuaian regulasi dengan kebijakan Arab Saudi terkait kuota, persyaratan kesehatan, dan digitalisasi layanan haji.
“Haji tidak hanya ibadah, tapi juga aspek ekonomi yang dikelola profesional oleh Arab Saudi,” katanya.
Perwakilan LDII mengusulkan agar RUU ini fokus pada kemaslahatan umat. Mereka mendukung pengawasan penyelenggaraan umrah, terutama umrah mandiri, untuk mencegah kerugian jemaah.
“Kami mengusulkan badan penyelenggara haji menjadi kementerian agar komunikasi dengan Arab Saudi lebih setara,” ujarnya.
RDPU ini menjadi wadah penting bagi ormas Islam untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait penyelenggaraan haji dan umrah. Masukan-masukan ini akan menjadi bahan penting dalam proses penyusunan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019.