Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Koma.id – Inflasi global telah mendorong sejumlah negara melakukan kenaikan suku bunga.
Hal ini menjadi sumber munculnya isu suku bunga akan naik. Bahkan banyak pengamat mengatakan bahwa BI harus menaikan suku bunga karena rupiah makin terdepresiasi, apalagi Bank sentral Amerika the FED sudah menaikan 75 basis poin dimana itu adalah angka kenaikan tertinggi setelah tahun 1994.
Narasi di atas adalah narasi yang salah arah karena perekonomian di Indonesia belum pulih. Dan kenaikan suku bunga ini akan memperlambat pemulihan ekonomi.

Meskipun ada dampak-dampak turunan jika suku bunga tidak naik ditengah lingkungan globalnya naik semua, diantaranya investor-investor akan lari mencari safe heaven.
Tapi berapapun tinggi suku bunga yang kita tawarkan, ada faktor uncertainty yang terjadi di depan mata yang menyebabkan investor menahan uangnya masuk ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Yang harus di lakukan Indonesia adalah dengan mengantisipasi capital-capital outflow itu dengan cara menangkapi investor-investor yang lari itu kepada investor-investor dalam negeri.
Ekonom yang bijak tentunya mengetahui apa yang akan terjadi kedepan. Tentunya yang akan terjadi kedepan adalah trendnya akan terjadi pembalikkan capital itu ke Amerika yang disebabkan oleh membaiknya ekonomi Amerika karena Amerika akan menjaga supaya indeks USD naik terus.
Dengan demikian mereka tidak akan mempersoalkan inflasi di dalam negeri tinggi selama indeks dolarnya menguat maka AS masih bisa beli barang murah dari luar negeri.
Hal ini tentunya akan membuat rakyat Amerika tidak terlalu suffering (menderita).
Hal ini disengaja oleh pemerintah Amerika melalui kerjasama Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen yang merupakan mantan personil the FED bersama Gubernur the FED yang saat ini menjabat.
Mereka berkolaborasi untuk menciptakan situasi lingkungan yang membuat dolar menguat. Jadi tidak perlu takut karena semua negara mengalami capital outflow.
Menaikan suku bunga setinggi apapun seperti di Turki, dan Argentina yang meningkatkan hingga 300 bps, tapi tidak bisa menjaga capital outflow itu terjadi. Arus keluar modal itu akan terus terjadi.
SARAN UNTUK BI ATASI PELEMAHAN RUPIAH
Jadi yang perlu Bank Indonesia persiapkan adalah BI membuat channel-channel intervensi baru dimana setiap asing melepaskan SUN nya maka BI bisa membeli SUN tersebut.
Hal tersebut dalam rangka menjaga nilai rupiah agar tetap terkendali dan juga mengakumulasi agar SUN itu dikuasai oleh entitas dalam negeri.
Nanti jika sudah terakumulasi maka SUN tersebut bisa dijadikan alat kebijakan moneter yang berbiaya rendah.
Jadi disarankan agar BI tetap mempertahankan level suku bunganya yaitu BI7DR 3,5%.
BI mempersiapkan diri untuk membeli SUN dan lebih jauh bisa dibuatkan aturan baru agar BI bisa membeli saham korporasi, sehingga saham-saham yang dilepas oleh asing sehingga BI bisa mengakumulasi sekuritas korporasi tersebut.
Bank sentral lain seperti seperti Bank of Japan, The FED dan BOE sudah bisa membeli sekuritas dari korporat. Di Indonesia hal tersebut belum pernah dilakukan.
BI harus dapat membeli sekuritas dari koorporat dengan catatan saham tersebut termasuk blue chip dan memiliki rating yang baik. Ini artinya saham-saham yang bagus yang terkenal tidak akan bangkrut seperti BUMN seperti Telkomsel atau bank-bank BUMN juga bisa dibeli sahamnya oleh BI jika asing melepas kepemilikannya saham tersebut.
Jadi kebijakan yang tepat untuk situasi sekarang bukan dengan menaikan suku bunga karena itu akan menjadi beban publik langsung. Karena hal tersebut akan membuat suku bunga kredit, KPR, investasi, modal kerja akan naik sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan memberatkan entitas-entitas ekonomi domestik di Indonesia.
Jika melihat besar hutang Indonesia, utang luar negeri swasta pada bulan April 2022 mencapai $210,23 miliar dolar yang terdiri dari utang luar negeri (ULN) BUMN sebesar $57,79 miliar dolar dan utang non BUMN sebesar $152,44 miliar dolar. Porsu ULN BUMN menurun 27,49% sejak Desember 2021 namun nilai porsinya meningkat selama beberapa tahun terakhir. Jika suku bunga BI naik maka swasta/non BUMN juga akan mendapatkan masalah karena mereka juga akan membayar dengan bunga yang tinggi. Dengan the FED menaikan suku bunganya swasta sudah suffering. Dan mereka bisa jadi merefinancing mencari utang-utang yang lebih murah. Dan disini seharusnya negara hadir dengan tetap mempertahankan suku bunga yang sekarang untuk menggiatkan roda perekonomian.
Tinggalkan Balasan