Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom UPNVJ)
Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 telah mendapatkan penolakan dari publik tidak hanya masyarakat namun juga pengusaha ritel.
Meskipun kenaikan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara dan memperkuat stabilitas fiskal, dampaknya terhadap masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, menimbulkan kekhawatiran.
Dengan mempertimbangkan data dampak positif dan negatif, pemerintah sebaiknya membatalkan rencana kebijakan tersebut dan mencari alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dampak Positif Kenaikan PPN
Kenaikan tarif PPN memiliki beberapa dampak positif yang tidak dapat diabaikan.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak, kontribusi PPN pada penerimaan pajak tahun 2023 mencapai 40,9% atau setara dengan Rp764,3 triliun.
Dengan kenaikan menjadi 12%, penerimaan PPN diperkirakan meningkat sebesar 9,1%, memberikan tambahan sekitar Rp69,5 triliun sd Rp120 triliun per tahun.
Dana ini dapat digunakan untuk pemerintah untuk berbagai keperluan pembangunan lainnya seperti Mengurangi Defisit Anggaran, Pembangunan Infrastruktur, Meningkatkan Anggaran Sosial, dan Stabilitas Fiskal.
Dengan menaikkan PPN, rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) diperkirakan meningkat menjadi 11,5% dari sebelumnya 10,9%.
Hal ini menunjukkan kemandirian fiskal yang lebih baik dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Dampak Negatif Kenaikan PPN
Namun, dampak negatif kenaikan PPN tidak bisa diabaikan, terutama terhadap masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
Ada lima indikator makro yang menyebabkan PPN naik tidak baik untuk perekonomian bahkan dapat memicu krisis ekonomi di masa depan.
Pertama, Penurunan Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 54% dari PDB Indonesia, sangat rentan terhadap kenaikan harga barang akibat kenaikan PPN.
Menurut simulasi input-ouput, kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan mengurangi konsumsi domestik sebesar 1,6%, yang dapat menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi hingga 0,11%.
Kedua, lonjakan Inflasi
Berdasarkan simulasi, kenaikan PPN diperkirakan menambah inflasi sebesar 0,97%.
Dampak ini akan lebih terasa pada kelompok berpenghasilan rendah, karena mereka menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok yang dikenakan PPN.
Ketiga, Daya Beli Masyarakat Anjlok
Kenaikan harga barang dan jasa akibat peningkatan tarif PPN akan menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah.
Penurunan daya beli ini berisiko memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks keyakinan konsumen dapat turun hingga 3-5 poin dalam jangka pendek akibat kenaikan pajak.
Keempat, Kemiskinan Meningkat
Simulasi dari macroeconomy yang kami lakukan, menunjukkan bahwa kenaikan PPN dapat menambah jumlah penduduk miskin hingga 267.279 jiwa, karena daya beli masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin tergerus.
Kelima, Risiko Investasi Naik
Dengan meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan PPN, daya saing produk Indonesia di pasar internasional dapat menurun.
Indeks daya saing ekspor diperkirakan turun sebesar 0,47%, sementara impor barang konsumsi meningkat hingga 0,85%, yang berisiko memperburuk defisit neraca perdagangan.
Kenaikan PPN menyebabkan harga lokal naik sementara harga barang impor akan turun. Hal ini menyebabkan masyarakat akan semakin mengkonsumsi barang impor dan akhirnya Indonesia kelihangan pekerjaan, pelemahan nilai tukar, penurunan devisa dan defisit neraca perdagangan.
Perbandingan Dampak Positif dan Negatif
Jika membandingkan dampak positif dan negatif, terlihat bahwa meskipun kenaikan PPN dapat meningkatkan penerimaan negara dan stabilitas fiskal, efek negatifnya terhadap konsumsi, inflasi, dan kesejahteraan masyarakat jauh lebih besar.
Dampak ini juga bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan daya beli dan mengurangi angka kemiskinan.
Solusi Alternatif yang Lebih Adil
Untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa menaikkan PPN menjadi 12%, pemerintah dapat mempertimbangkan solusi berikut:
Optimalisasi Pemungutan Pajak
Daripada menaikkan tarif, pemerintah sebaiknya fokus pada efisiensi pemungutan pajak. Dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan hingga 5-10% tanpa membebani masyarakat.
Pengurangan Insentif Pajak Tidak Tepat Sasaran
Banyak insentif pajak yang tidak efisien dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian.
Dengan mengevaluasi kembali insentif ini, pemerintah dapat menambah penerimaan hingga Rp20 triliun per tahun.
Diversifikasi Pajak
Pengenaan pajak baru, seperti pajak karbon dan pajak atas aset digital, dapat menjadi sumber penerimaan baru.
Potensi penerimaan dari pajak karbon saja diperkirakan mencapai Rp30 triliun per tahun.
Peningkatan Pajak Penghasilan untuk Kelompok Kaya
Dengan menerapkan tarif progresif untuk kelompok berpenghasilan tinggi, pemerintah dapat meningkatkan kontribusi dari kalangan yang lebih mampu.
Reformasi ini diperkirakan dapat menambah penerimaan sebesar Rp40 triliun per tahun.
Implementasi Digitalisasi Administrasi Pajak
Sistem digitalisasi yang lebih baik dapat meminimalkan kebocoran pajak. Diperkirakan, digitalisasi ini dapat meningkatkan penerimaan hingga Rp50 triliun per tahun.
Reformasi Pajak Daerah
Pajak daerah, terutama pada sektor properti dan kendaraan bermotor, memiliki potensi besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan reformasi pajak daerah, tambahan penerimaan sebesar Rp15 triliun per tahun dapat dicapai.
Masih banyak cara lain untuk mengoptimalisasikan penerimaan negara, namun Sri Mulyani beserta tim ekonomi tidak mau menempuh cara kompleks dan memilih jalan pintas yang gampang padahal dampaknya akan jauh lebih buruk bagi daya beli dan perekonomian keseluruhan.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% mungkin terlihat sebagai solusi cepat untuk meningkatkan penerimaan negara.
Namun, dampaknya terhadap konsumsi, daya beli, dan kemiskinan menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperburuk kesenjangan sosial.
Dengan memanfaatkan solusi alternatif seperti optimalisasi pemungutan pajak, diversifikasi basis pajak, dan digitalisasi administrasi perpajakan, pemerintah dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat.
Pemerintah harus bijak dalam merancang kebijakan fiskal, memastikan bahwa setiap kebijakan tidak hanya meningkatkan penerimaan, tetapi juga melindungi daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Memilih solusi yang lebih berkeadilan akan menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga kesejahteraan rakyat sekaligus mencapai tujuan fiskal yang berkelanjutan.