Gulir ke bawah!
Opini

Sadisnya Budaya Kekerasan

11659
×

Sadisnya Budaya Kekerasan

Sebarkan artikel ini

Antonius Benny Susetyo
Budayawan

Membahas budaya kekerasan yang kini kian marak di Indonesia tidak hanya mencerminkan krisis moral, tetapi juga menunjukkan betapa rapuhnya struktur sosial, hukum, dan pendidikan kita dalam mencegah dan menangani kekerasan di masyarakat. Salah satu hal yang paling mencolok dari kasus-kasus kekerasan ini adalah hilangnya kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan kekejian semacam itu kepada sesama manusia? Apakah kemiskinan, kesulitan ekonomi, atau tekanan sosial benar-benar cukup untuk mereduksi manusia menjadi sedemikian brutal? Jawaban ini tidak hanya bisa dicari dalam konteks individual, tetapi harus dilihat sebagai masalah kolektif yang melibatkan faktor-faktor struktural dalam masyarakat kita. Antonius Benny Susetyo, staf khusus ketua dewan pengarah BPIP, menekankan bahwa hilangnya nilai-nilai kemanusiaan ini adalah salah satu penyebab utama mengapa kekerasan begitu sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Dalam berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi, baik yang disorot oleh media maupun yang tidak, kita melihat ada pola perilaku yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan tidak lagi memiliki empati atau rasa kemanusiaan yang seharusnya menjadi bagian dari diri setiap individu. Ketika seseorang merasa bahwa nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai, tindakan sadis seperti pembunuhan dan pemerkosaan menjadi lebih mudah dilakukan. Namun, mengapa nilai-nilai kemanusiaan ini hilang? Apa yang menyebabkan masyarakat kita, yang dulunya dikenal dengan gotong royong dan nilai kebersamaan yang kuat, berubah menjadi tempat di mana kekerasan dan kebrutalan sering terjadi?

Silakan gulirkan ke bawah

Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sering kali tidak disertai dengan adaptasi nilai-nilai moral yang memadai. Di era modern ini, di mana kemajuan teknologi dan globalisasi telah membawa banyak perubahan, kita sering kali melupakan pentingnya menjaga nilai-nilai tradisional yang mengajarkan kita tentang pentingnya kemanusiaan, kebersamaan, dan solidaritas. Nilai-nilai ini, yang seharusnya menjadi pondasi dalam kehidupan bermasyarakat, kini semakin terkikis oleh tekanan untuk sukses secara material dan individual. Tekanan hidup yang semakin tinggi, terutama dalam konteks ekonomi, sering kali menjadi alasan mengapa orang-orang mulai mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam banyak kasus kekerasan, terutama yang terjadi karena motif ekonomi, seperti dalam kasus penculikan dan pembunuhan balita di Banten, pelaku sering kali merasa terpojok oleh keadaan ekonomi yang sulit. Mereka merasa bahwa satu-satunya jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi adalah dengan melakukan kekerasan. Namun, meskipun tekanan ekonomi bisa menjadi salah satu faktor pemicu, ini bukanlah satu-satunya penyebab. Ada faktor-faktor lain yang lebih dalam, seperti bagaimana masyarakat kita gagal mempertahankan dan menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain tekanan ekonomi, hilangnya rasa kebersamaan dan solidaritas di masyarakat juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya kekerasan. Dulu, masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya gotong royong, di mana setiap individu merasa bertanggung jawab satu sama lain. Namun, seiring dengan modernisasi dan urbanisasi, rasa kebersamaan ini perlahan-lahan hilang. Masyarakat menjadi lebih individualistis dan lebih fokus pada kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana masyarakat mulai kehilangan rasa peduli terhadap orang lain. Mereka tidak lagi merasa terikat satu sama lain sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Ini menciptakan jarak emosional antara individu, yang pada akhirnya memudahkan terjadinya kekerasan. Ketika seseorang tidak lagi merasa terhubung dengan orang lain, mereka cenderung melihat orang lain sebagai objek, bukan sebagai sesama manusia yang memiliki perasaan dan hak yang sama.

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam memahami fenomena kekerasan di masyarakat adalah pengaruh media sosial dan akses mudah terhadap konten kekerasan. Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi digital telah berkembang pesat dan membawa dampak yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu dampak yang paling signifikan adalah bagaimana media sosial dan internet memungkinkan akses yang lebih mudah terhadap konten kekerasan. Dalam banyak kasus kekerasan, terutama yang melibatkan anak-anak dan remaja, kita sering mendengar bahwa mereka mendapatkan inspirasi dari apa yang mereka lihat di media sosial atau internet. Anak-anak dan remaja yang belum memiliki kemampuan berpikir kritis yang cukup sering kali tidak bisa membedakan antara apa yang nyata dan apa yang fiktif. Mereka terpengaruh oleh konten yang mereka konsumsi, baik itu melalui video, film, atau bahkan permainan, yang sering kali memuat unsur-unsur kekerasan.

Salah satu dampak negatif dari media sosial adalah normalisasi kekerasan. Konten yang menggambarkan kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi semakin lazim di berbagai platform media sosial. Dalam beberapa kasus, kekerasan bahkan dijadikan sebagai bentuk hiburan. Ini memberikan pesan yang salah kepada masyarakat, terutama anak-anak dan remaja, bahwa kekerasan adalah sesuatu yang biasa dan dapat diterima. Normalisasi kekerasan ini bukan hanya terjadi di media sosial, tetapi juga di berbagai bentuk media lainnya, seperti televisi dan film. Banyak program televisi dan film yang menggambarkan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah. Pesan ini secara tidak langsung masuk ke dalam pikiran penonton, terutama mereka yang masih dalam tahap perkembangan, dan membentuk pandangan bahwa kekerasan adalah sesuatu yang wajar. Selain itu, kurangnya pengawasan orang tua dalam penggunaan media sosial dan akses terhadap internet juga menjadi salah satu penyebab utama mengapa anak-anak dan remaja terpapar kekerasan. Banyak orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang teknologi digital dan bagaimana cara mengontrol apa yang dikonsumsi oleh anak-anak mereka di dunia maya. Akibatnya, anak-anak sering kali dibiarkan bebas untuk mengakses konten apa pun yang mereka inginkan, tanpa ada batasan atau pengawasan yang memadai.

Dalam hal ini, pendidikan digital menjadi sangat penting. Anak-anak dan remaja harus diajarkan bagaimana cara menggunakan teknologi dengan bijak, bagaimana cara menyaring informasi yang mereka terima, dan bagaimana cara membedakan antara konten yang baik dan buruk. Pendidikan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga. Orang tua harus terlibat aktif dalam memberikan pendidikan digital kepada anak-anak mereka dan memastikan bahwa mereka memahami bahaya dari konten kekerasan yang ada di media sosial. Peran orang tua dan keluarga dalam membentuk karakter dan moral anak-anak tidak bisa diabaikan. Keluarga adalah tempat pertama di mana anak-anak belajar tentang nilai-nilai moral, etika, dan kemanusiaan. Namun, dalam banyak kasus kekerasan, kita sering menemukan bahwa pelaku kejahatan berasal dari latar belakang keluarga yang disfungsional atau tidak memiliki pendidikan moral yang memadai.

Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, menekankan pentingnya pendidikan moral sejak usia dini. Menurutnya, pendidikan moral bukan hanya tugas sekolah, tetapi juga tugas keluarga. Keluarga harus menjadi tempat di mana anak-anak belajar tentang nilai-nilai seperti kebersamaan, gotong royong, dan empati terhadap orang lain. Namun, sayangnya, dalam banyak kasus, keluarga sering kali gagal menjalankan peran ini. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaan atau masalah pribadi sering kali tidak memiliki waktu atau energi untuk memberikan pendidikan moral kepada anak-anak mereka. Mereka mungkin berpikir bahwa tugas ini bisa sepenuhnya diserahkan kepada sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Namun, pendidikan moral tidak bisa hanya diajarkan di sekolah. Keluarga adalah tempat pertama di mana anak-anak belajar tentang moralitas, dan orang tua harus menjadi teladan dalam hal ini. Keluarga disfungsional sering kali menjadi akar dari perilaku kekerasan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan konflik, kekerasan, atau ketidakpedulian cenderung mengembangkan perilaku yang sama. Mereka tidak memiliki contoh yang baik tentang bagaimana cara berperilaku dengan benar, dan sering kali mengadopsi pola perilaku yang negatif dari lingkungan mereka. Dalam banyak kasus kekerasan, kita sering menemukan bahwa pelaku berasal dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Mereka mungkin tumbuh dalam lingkungan di mana kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang normal, atau mereka mungkin tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua mereka. Akibatnya, mereka mencari cara untuk mengekspresikan emosi mereka yang terpendam, dan sering kali cara yang mereka pilih adalah melalui kekerasan.

Selain peran keluarga, sekolah juga memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk moral dan etika anak-anak. Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan formal di Indonesia cenderung lebih fokus pada aspek akademis, sementara pendidikan karakter sering kali terpinggirkan. Padahal, pendidikan karakter sama pentingnya dengan pendidikan akademis dalam membentuk pribadi yang berintegritas dan bermoral. Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan harus mencakup tiga aspek utama: olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Artinya, pendidikan tidak hanya berfokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pada kecerdasan emosional dan spiritual. Sayangnya, banyak sekolah di Indonesia yang lebih menekankan pada pencapaian akademis tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pembentukan karakter. Pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika dalam diri anak-anak sejak dini. Ini mencakup pengajaran tentang nilai-nilai seperti kejujuran, empati, tanggung jawab, dan saling menghargai. Pendidikan karakter ini sangat penting dalam mencegah terjadinya kekerasan, karena anak-anak yang memiliki karakter yang baik cenderung memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dan konflik dengan cara yang lebih konstruktif. Namun, dalam realitasnya, banyak sekolah yang tidak memberikan perhatian yang cukup pada pendidikan karakter. Kurikulum yang ada lebih berfokus pada mata pelajaran akademis, dan guru-guru sering kali tidak memiliki waktu atau keterampilan untuk mengajarkan pendidikan karakter. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan pendidikan moral yang memadai, dan ini dapat mempengaruhi perilaku mereka di kemudian hari.

Sebagai ideologi bangsa, Pancasila memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan moral masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila, seperti kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, harus menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai Pancasila mulai terkikis dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda.

Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada revitalisasi pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah. Ini tidak berarti hanya menambahkan pelajaran tentang Pancasila dalam kurikulum, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila benar-benar diinternalisasi oleh siswa melalui berbagai kegiatan pendidikan dan kehidupan sehari-hari di sekolah. Misalnya, sekolah dapat mengajarkan tentang pentingnya gotong royong, keadilan, dan saling menghormati melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif.

Melihat berbagai faktor yang mempengaruhi maraknya kekerasan di Indonesia, baik itu dari segi sosial, pendidikan, maupun hukum, kita perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah terjadinya kekerasan di masa depan. Langkah-langkah ini harus melibatkan semua elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, sekolah, keluarga, hingga media. Langkah tersebut antara lain membangun kembali kesadaran masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Ini bisa dilakukan melalui berbagai kampanye sosial yang melibatkan pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan media. Kampanye ini harus menekankan pentingnya empati, toleransi, dan saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, perlu ada pendidikan yang lebih intensif tentang nilai-nilai kemanusiaan di sekolah-sekolah dan lingkungan keluarga. Anak-anak harus diajarkan sejak dini tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dan menghindari kekerasan dalam segala bentuknya. Dengan cara ini, kita bisa membentuk generasi muda yang memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan karakter dan etika harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pemerintah harus memastikan bahwa pendidikan karakter tidak hanya menjadi pelengkap dalam kurikulum, tetapi menjadi bagian yang integral dari setiap mata pelajaran. Guru-guru harus dilatih untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan cara yang menarik dan relevan bagi siswa. Selain itu, sekolah-sekolah harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan karakter siswa. Ini bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan kerja sama, gotong royong, dan penghargaan terhadap keberagaman. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar tentang nilai-nilai moral di dalam kelas, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Media memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi perilaku masyarakat. Oleh karena itu, media harus lebih bertanggung jawab dalam menyajikan informasi yang edukatif dan positif. Konten-konten yang mengandung unsur kekerasan harus dikurangi, dan media harus lebih fokus pada penyajian konten yang mendidik dan menginspirasi masyarakat untuk melakukan hal-hal yang positif. Selain itu, media sosial harus diawasi lebih ketat untuk mencegah penyebaran konten kekerasan. Pemerintah harus bekerja sama dengan platform media sosial untuk memastikan bahwa konten-konten yang mempromosikan kekerasan dihapus dengan cepat, dan pengguna yang menyebarkan konten tersebut diberi sanksi yang tegas.

Kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, menunjukkan betapa mendesaknya perlunya kita sebagai bangsa untuk menangani masalah kekerasan dengan serius. Kekerasan bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari berbagai faktor sosial, pendidikan, dan hukum yang saling berkaitan.

Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu melakukan pendekatan yang komprehensif, yang mencakup peningkatan pendidikan karakter, reformasi sistem hukum, dan kampanye sosial yang mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Peran keluarga, sekolah, pemerintah, dan media sangatlah penting dalam membangun masyarakat yang bebas dari kekerasan. Hanya dengan upaya kolektif, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua orang, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang sering kali menjadi korban kekerasan.

Pendidikan moral dan nilai-nilai kemanusiaan perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah sejak usia dini. Program-program pendidikan karakter harus lebih diutamakan dan dijadikan bagian integral dari setiap kegiatan pembelajaran. Sekolah perlu bekerja sama dengan psikolog dan ahli pendidikan untuk merancang program yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai empati, kerja sama, dan penghargaan terhadap sesama. Selain itu, pelatihan intensif bagi guru dan tenaga pendidik mengenai metode pengajaran yang efektif dalam pendidikan karakter harus dilakukan. Mereka tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga teladan bagi anak-anak dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah bersama dengan organisasi masyarakat sipil, LSM, dan lembaga pendidikan harus mengadakan kampanye kesadaran yang menyoroti pentingnya menolak kekerasan dalam bentuk apapun, serta mengangkat isu-isu seperti kekerasan dalam rumah tangga, bullying, dan kekerasan berbasis gender. Melalui penyuluhan, seminar, dan media sosial, masyarakat harus diajak untuk mengenali gejala-gejala kekerasan serta cara mencegah dan menanganinya. Selain itu, pembentukan komunitas atau kelompok di masyarakat yang fokus pada upaya anti-kekerasan dapat berfungsi sebagai sarana edukasi sekaligus dukungan bagi korban kekerasan. Komunitas ini dapat menjadi tempat aman bagi mereka yang membutuhkan bantuan atau mencari perlindungan.

Pemerintah perlu memperkuat undang-undang yang melindungi korban kekerasan, khususnya perempuan dan anak-anak. Ini termasuk memperketat aturan terkait perlindungan korban, memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan, dan memastikan bahwa proses hukum dilakukan dengan adil dan cepat. Selain itu, perlu juga ada dukungan yang memadai bagi korban dalam bentuk rehabilitasi psikologis, fisik, dan finansial. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dalam penanganan kasus kekerasan, seperti Komnas Perlindungan Anak dan Komnas Perempuan, harus diperkuat dan diberi sumber daya yang cukup untuk menjalankan tugas mereka secara maksimal. Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga-lembaga ini berfungsi dengan baik dalam memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban kekerasan.

Menghadapi era digital yang penuh dengan paparan konten kekerasan, pendidikan literasi digital sangat penting, baik untuk anak-anak maupun orang tua. Anak-anak harus diajari tentang cara menggunakan internet dengan bijak dan memahami dampak dari konten kekerasan. Pendidikan ini harus mencakup bagaimana menyaring informasi yang ada di media sosial dan mengenali bahaya yang bisa datang dari paparan konten kekerasan. Bagi orang tua, pendidikan digital juga harus mencakup cara-cara untuk mengawasi penggunaan internet anak-anak, serta bagaimana berkomunikasi dengan anak mengenai apa yang mereka lihat dan alami di dunia maya. Dengan demikian, orang tua dapat lebih aktif terlibat dalam kehidupan digital anak-anak mereka dan mencegah dampak negatif dari paparan konten yang tidak sesuai.

Di masa depan, harapannya Indonesia dapat menjadi negara yang aman dan damai, di mana setiap warga negara, tanpa memandang gender, usia, atau status sosial, dapat hidup dengan bebas dari ancaman kekerasan. Untuk mencapai tujuan ini, dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan media harus bekerja sama untuk menciptakan perubahan yang berarti. Hanya dengan pendekatan yang kolektif dan sinergis, kita bisa membangun masyarakat yang lebih manusiawi, di mana kekerasan tidak lagi dianggap sebagai hal yang wajar, melainkan sebagai tindakan yang tidak dapat diterima dalam bentuk apapun. Anak-anak yang tumbuh di Indonesia di masa depan harus bisa merasa aman dan dilindungi, dan perempuan harus mendapatkan hak yang sama dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Dengan menciptakan sistem yang kuat, nilai-nilai yang jelas, dan penegakan hukum yang adil, kita bisa berharap untuk mewujudkan visi ini. Melalui pendidikan, penegakan hukum, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan di seluruh lapisan masyarakat, kita dapat memutus rantai kekerasan dan menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan tekad dan kerja keras, perubahan bisa terwujud.

Jangan lupa temukan juga kami di Google News.
Opini

Antonius Benny Susetyo Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati…