Koma.id – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara soal polemik program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera yang potongannya dikeluhkan masyarakat dan pengusaha, yakni sebesar 2,5% dari gaji, dan 0,5% ditanggung pemberi kerja.
Sri Mulyani ditanya oleh Anggota Komite IV DPD RI Casytha Arriwi Kathmandu saat rapat kerja dengan Sri Mulyani dan jajarannya di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (11/6). Casytha mengatakan bahwa kebijakan Tapera itu sangat memberatkan masyarakat karena memangkas pendapatannya saat banyaknya beban potongan gaji.
“Pajak yang ditanggung pengusaha sudah banyak ditanggung pekerja, sudah banyak, tambah tapera 3%, pengusaha 0,5% dan pekerja 2,5%, artinya cost lagi,” kata Casytha kepada Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengklaim sebelum Tapera lahir, pemerintah sebenarnya sudah berbuat banyak untuk membantu masyarakat, terutama berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. “Bapertarum (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan) kan merupakan legacy dari dulu yang sudah memotong, kemudian dimasukkan di dalam Tapera, tapi APBN itu lebih dari Rp105 triliun sebetulnya sudah masuk di Tapera melalui FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), Itu adalah dana bergulir yang dipakai untuk masyarakat berpendapatan rendah mendapatkan rumah” jelas wanita yang akrab disapa Ani.
FLPP merupakan dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR). Ani mengungkap pihaknya sempat memperkenalkan anggaran dana untuk perumahan rakyat secara bertahap, seperti anggaran melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk bantuan uang muka, untuk subsidi bunga, serta FLPP untuk likuiditas.
“Supaya bank seperti BTN (Bank Tabungan Negara) dan berbagai kombinasi perbankan yang lain bisa memberikan kredit secara murah kepada masyarakat berpendapatan rendah,” ujarnya. Namun tambahnya, masih ada aturan pada Tapera yang harus diperbaiki. “Seperti harga rumah dan kriteria peserta MBR dengan maksimal pendapatan Rp8 juta sebagai persyaratan mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR),” jelasnya.
Ani menegaskan bahwa sejak 2015 hingga 2024, APBN sudah hadir dengan total Rp228,9 triliun untuk membantu sektor perumahan, terutama bagi MBR. APBN tersebut merupakan kombinasi dari uang muka, subsidi suku bunga, hingga FLPP untuk menciptakan likuiditas.
“2016 total APBN hadir Rp15,25 triliun, 2017 Rp18 triliun, 2019 Rp18,81 triliun untuk kombinasi tadi. (Pada) 2020 bahkan kita naikkan Rp24,19 triliun di tengah-tengah covid, 2021 naik lagi ke Rp28,95 triliun, 2022 naik lagi ke Rp34,15 triliun, 2023 Rp31,88 triliun, dan 2024 ini di dalam APBN ada Rp28,25 triliun,” kata Bendahara Negara itu.
Menurutnya, angka total APBN untuk sektor perumahan itu sudah sangat besar. Ia pun menegaskan bahwa dana tersebut tidak akan hilang, namun masih akan bergulir. “Dan dana ini enggak hilang, seperti yang FLPP sendiri itu mencapai Rp105 triliun itu masih akan bergulir. Dan sekarang kita lihat, kalau masyarakat tadinya bisa mencicil 18 tahun bisa menjadi lebih pendek karena mereka pendapatannya naik, maka dananya bisa bergulir lebih untuk MBR yang lain,” ujar dia lebih lanjut.
Ani mengklaim ia memahami beban-beban pajak yang sudah ditanggung masyarakat hingga pengusaha. Oleh karena itu, ia menyebut pihaknya akan berusaha memperbaiki laju APBN untuk mengurangi beban tersebut melalui berbagai cara. “Kalau untuk masyarakat, apakah mulai dari BPJS Kesehatan diberikan untuk 95 juta masyarakat yang tidak mampu membayar PBI kita bayarkan. Maupun dengan berbagai macam subsidi dan bansos,” lanjut Ani.
“Tentu tidak cukup. Masyarakat akan merasa, ‘oh, yang dapat mereka, saya ga dapat’. Atau dapatnya kurang dari apa yang kita butuhkan. Ya, karena, makanya tadi APBN perlu untuk diperkuat supaya bisa membantu terutama bagi masyarakat yang tidak mampu,” katanya.
Sri Mulyani mengakui, rakyat memang perlu ada kebijakan khusus yang membuat harga rumah di Indonesia itu tidak terus menerus naik hingga semakin sulit terjangkau. Apalagi, jenis rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR juga kini semakin tinggi.