Koma.id – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai permasalahan politik akibat Pilkada langsung kerap mengganggu pembangunan di daerah. Ia menyampaikan itu kala membandingkan kelebihan dan kekurangan mekanisme pengisian kursi kepala daerah lewat pilkada langsung dengan penunjukkan penjabat kepala daerah dalam rapat Komisi II DPR, Senin (10/6).
Ia menyebut urusan partai politik kala kepala daerah dipilih lewat pilkada kerap jadi soal yang kemudian mengganggu pembangunan. “Dalam satu partai yang sama saja belum tentu kompak, rivalitas, apalagi kalau partainya berbeda sering kali menimbulkan friksi. Ada hambatan politis disana, itu jelas dapat mengganggu pembangunan untuk rakyat,” kata Tito dalam rapat.
Tito menyebut hubungan yang kurang harmonis antara gubernur di tingkat provinsi dengan bupati atau walikota di bawahnya kerap jadi soal. Terlebih, jika mereka berasal dari parpol yang berbeda.
Dalam paparannya, Tito juga menyebutkan beberapa kekurangan lainnya dari pelaksanaan pilkada, yakni potensi polarisasi masyarakat dan potensi kerawanan konflik di masyarakat. Kemudian, biaya politik mahal serta tak semua kepala daerah terpilih itu memiliki pengalaman sebagai birokrat.
Pada saat yang sama, Tito juga memaparkan sejumlah dampak positif atas kepala daerah yang terpilih lewat pilkada, yakni memiliki legitimasi yang kuat dan menciptakan iklim demokrasi yang sehat. “Calon-calon dapat muncul dari berbagai kalangan, sehingga kader-kader bangsa yang bagus memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin daerah,” papar Tito.
Ia lantas membandingkannya dengan penjabat kepala daerah yang mekanismenya melalui penunjukkan oleh pemerintah pusat. “Nah PJ tidak ada, dia bukan kader partai politik, mereka birokrat, sehingga tidak perlu terjadi konflik politik antara bupati/walikota,” ucapnya.
Menurutnya penjabat itu juga tak menelan biaya politik. Ia mengaku tak pernah ada proses transaksional dalam penunjukkan para penjabat tersebut. Selain itu, ia mengatakan para penjabat kepala daerah yang ditunjuk juga diangkat dari struktural jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama. “Sehingga memiliki pengalaman dan pengetahuan tata kelola pemerintahan,” imbuh Tito.
Namun, Tito juga mengungkapkan sejumlah kekurangan dari metode penunjukan penjabat daerah ketimbang pilkada. Tito mengaku penjabat daerah ini memiliki legitimasi yang lebih lemah ketimbang pasangan calon yang terpilih lewat pilkada. Selain itu, ia menilai latar belakang penjabat kepala daerah yang seorang birokrat cenderung menjadikan mereka kurang inovatif, kurang berani mengambil terobosan kreatif, serta berpikir hanya rutinitas karena terikat aturan normatif.