Gulir ke bawah!
Opini

POPULI-VOX-DEI-MELAWAN AMICUS-CURIAE: Bangsa Ini Butuh Rekonsiliasi Nasional Bersatu Kebersamaan

17685
×

POPULI-VOX-DEI-MELAWAN AMICUS-CURIAE: Bangsa Ini Butuh Rekonsiliasi Nasional Bersatu Kebersamaan

Sebarkan artikel ini

Oleh Prihandoyo Kuswanto

Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila

Silakan gulirkan ke bawah

Koma.id – Apa yang terjadi dengan bangsa ini setelah pertandingan selesai dan kemudian melakukan gugatan pada Makamah Konstitusi tetapi bukan sengketa hasil yang dibawah ke Meja persidangan melainkan melebar kemana -mana narasi-narasi didalam petitum tak lebih hanya ceritera karangan yang tidak ada bukti dan fakta nya.

Campur aduk antara sengketa proses dan sengketa hasil.

Padahal jika itu soal administrasi pelanggaran proses ditingkat pertama dilaporkan ke Bawaslu dan ditingkat dua nya PTUN.

Sejatinya yang bisa disebut teman pengadilan itu adalah suara rakyat, bukan pihak yang kalah dan ‘tantrum’ lalu merasa bisa jadi teman pengadilan.

Terlebih pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae minimal tidak punya kepentingan hukum dengan pihak yang berperkara.

Jelas di sini bahwa Megawati adalah Ketum PDIP yang mengusung paslon Ganjar Pranowo-Mahfud Md selaku pemohon sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan kata lain, amicus curuae harusnya merupakan suatu permohonan (opini) yang diajukan oleh pihak di luar perkara.

Kedua, masalah yang diungkap dalam amicus curiae tersebut sebenarnya telah disampaikan oleh tim hukum Ganjar-Mahfud dalam gugatannya, yaitu adanya abuse of power dari istana (presiden) lewat praktik kecurangan TSM (terstruktur, sistematis dan masif) untuk memenangkan Prabowo-Gibran dan tidak terbukti di persidangan MK.

Begitu juga yang dilakukan oleh Prof Din Syamsudin dan Habib Rizik sama saja mereka adalah pendukung 01.

Selama ini berkampanye dan melakukan demo -demo untuk mendukung 01 dan tentu saja untuk kepentingan 01.

Bahkan akan melakukan demo besuk di MK untuk membuat tekanan pada MK.

Dan juga banyak Guru besar yang juga mengirim amicus curiae padahal selama ini mereka mendukung paslon 01 dan 03.

Pertarungan politik dengan menghalalkan segala cara rupanya telah terjadi untuk menekan MK pun harus dilakukan dengan demo ber jilid- jilid dan menjadi amicus-curiae.

Dari dua hal ini sebetul nya sebagai sahabat pengadilan mereka tidak percaya dengan hakim hakim dipengadilan itu.

Jadi dengan mengajukan sebagai amicus-curiae bukan untuk memberikan ketenangan dan membantu pada sahabat nya agar membuat keputusan yang sesuai dengan fakta persidangan.

Sebetul nya mereka sadar bahwa tuduhan yang mereka bawah kemeja persidangan MK sudah terpatahkan tuduhan bansos sebagai dasar tuduhan Kecurangan TSM.

Kalau kita cermati tuduhan bansos oleh 01 dan 03 harus nya mereka yang membuktikan sebab siapa yang membuat tuduhan harus nya 01 dan 03 yang mendalilkan bukan MK dalam persidangan ini Jokowi dan Pemerintah bukan para pihak yang berpekara.dan juga bukan pihak yang terkait .Dengan hadir nya Menteri Keuangan, Menteri Sosial dan dua orang Menko maka terbantahkan semua kecurangan dan rakyat yang mengikuti jalan nya persidangan semakin Yakin 97 Juta pemilih 02 atas kedaulatan rakyat tidak bisa didiskualifikasi hanya dengan diksi dan narasi tanpa bukti.

Bagaimana mereka yang berpekara mendaftar sebagai amicus curiae tetapi karena tidak ada nya kepercayaan pengadilan di MK.
Sebagai sahabat harus nya membuat sahabat nya tenang melakukan pekerjaan nya bukan malah menganjurkan demo besar-besaran ini lah kemunafikan yang dilakukan tokoh tokoh yang selama ini mengusung agama.

“Di dalam mengadili sengketa Pilpres di MK sebenarnya yang diuji itu kan adalah bagaimana pembuktian dalil-dalil yang dimohonkan pemohon, termohon KPU, pihak terkait dan mendengar keterangan Bawaslu. Itu diuji semua dalam persidangan. Pertanyaannya, amicus curiae masuk tidak dalam fakta persidangan?

Memang betul amicus curiae adalah hak hukum tetapi tidak semua orang bisa menjadi amicus curiae misal bagaimana seorang koruptor menjadi amicus curiae bagi koruptor yang sedang disidangkan di pengadilan ? Tentu tidak bisa.

William J. Chambliss dan Robert B. Seidman bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (The Law Of Non Transferability of Law).

Berikut Ubi societas ibi ius ala Cicero, bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dengan kata lain, masyarakat suatu bangsa memiliki karakteristik yang
berbeda dengan masyarakat di bangsa lain

“Indonesia sebagai bangsa, juga mempunyai karakteristik sendiri dalam hukum walaupun diakui bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang kaya, bertalian dengan adanya kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein,”

Sejatinya yang bisa disebut teman pengadilan itu adalah suara rakyat suara 97 juta rakyat yang telah memilih 02 atas kedaulatan rakyat mereka tidak berpekara tetapi suara dan kedaulatan mereka di diperkarakan oleh 01 dan 03 dihinakan mereka dikatakan 97 juta rakyat yang memilih itu disogok dengan bansos pelecehan terhadap harkat dan martabat ini harus dilawan karena sudah mencederai kedaulatan rakyat.

Bukan pihak yang kalah dan ‘tantrum’ lalu merasa bisa jadi teman pengadilan.

Terlebih pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae minimal tidak punya kepentingan hukum dengan pihak yang berperkara.

Jelas di sini bahwa Megawati adalah Ketum PDIP yang mengusung paslon Ganjar Pranowo-Mahfud Md selaku pemohon sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan kata lain, amicus curuae harusnya merupakan suatu permohonan (opini) yang diajukan oleh pihak di luar perkara.

Kedua, masalah yang diungkap dalam amicus curiae tersebut sebenarnya telah disampaikan oleh tim hukum Ganjar-Mahfud dalam gugatannya, yaitu adanya abuse of power dari istana (presiden) lewat praktik kecurangan TSM (terstruktur, sistematis dan masif) untuk memenangkan Prabowo-Gibran dan tidak terbukti di persidangan MK.

Begitu juga yang dilakukan oleh Prof Din Syamsudin Habib Rizik sama saja mereka adalah pendukung 01.

Selama ini berkampanye dan melakukan demo -demo untuk mendukung 01.

Pertarungan politik dengan menghalalkan segala cara rupanya telah terjadi untuk menekan MK pun harus dilakukan dengan demo dan menjadi amicus-curiae.

Dari dua hal ini sebetul nya sebagai sahabat pengadilan mereka tidak tidak bisa diterima. Padahal mereka tidak percaya dengan hakim hakim dipengadilan itu.

Jadi dengan mengajukan sebagai amicus-curiae bukan untuk memberikan ketenangan pada sahabat nya agar membuat keputusan yang sesuai dengan fakta persidangan.

Tetapi karena tidak ada nya kepercayaan pengadilan di MK.

Sebagai sahabat harus nya membuat sahabat nya tenang melakukan pekerjaan nya bukan malah menganjurkan demo besar-besaran ini lah kemunafikan yang dilakukan tokoh tokoh yang selama ini mengusung agama .

“Di dalam mengadili sengketa Pilpres di MK sebenarnya yang diuji itu kan adalah bagaimana pembuktian dalil-dalil yang dimohonkan pemohon, termohon KPU, pihak terkait dan mendengar keterangan Bawaslu. Itu diuji semua dalam persidangan. Pertanyaannya, amicus curiae masuk tidak dalam fakta persidangan apa tidak ?
Memang betul amicus curiae adalah hak hukum tetapi tidak semua orang bisa menjadi amicus curiae misal bagaimana seorang koruptor menjadi amicus curiae bagi koruptor yang sedang disidangkan di pengadilan ?

William J. Chambliss dan Robert B. Seidman bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (The Law Of Non Transferability of Law).

Berikut Ubi societas ibi ius ala Cicero, bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dengan kata lain, masyarakat suatu bangsa memiliki karakteristik yang
berbeda dengan masyarakat di bangsa.

“Indonesia sebagai bangsa, juga mempunyai karakteristik sendiri dalam hukum walaupun diakui bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang kaya, bertalian dengan adanya kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein,”

Diganti nya UUD 1945 dengan UUD 2002 merupakan upaya untuk menghilangkan karakteristik bangsa Indonesia itu yang mereka lupakan dan berakibat seperti sekarang ini terjadi pertentangan yang menuju perpecahan bangsa Indonesia.

Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002. banyak aturan yang dasarnya Liberalisme, Kapitalisme. Seperti sistem presidenseil, pilkada, pilsung, pilpres, bertentangan dengan Negara berdasarkan Pancasila. Kerancauan dan kekacauan ini karena banyak yang tidak tahu kalau Ideologi Negara Pancasila itu ya Batang tubuh UUD 1945. Bukan nya ideologi Negara berdasarkan Pancasila itu kristalisasi pemikiran tentang negara berdasarkan Pancasila yang terurai dalam pasal-pasal UUD 1945.

Banyak yang mengartikan ideologi Pancasila itu ya lima sila itu. Padahal lima sila itu lima prinsip berbangsa dan bernegara, Philosophy Groundslag. Karena Pancasila itu lima prinsip bernegara. Maka segala aturan yang mengatur negara harus sesuai dengan Pancasila. Amandemen UUD 1945 justru mengingkari lima prinsip bernegara.

Apakah negara ini masih menjalankan Musyawarah Mufakat didalam memilih pemimpin? Apakah negara ini masih bertujuan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kalau unsur individualisme kapitalisme dimasukan, disusupkan di dalam UUD hasil amandemen?

Jadi Negara berdasar Pancasila itu mempunyai sistem sendiri, bukan sistem Presidenseil maupun sustem Parlementer.

Sistem sendiri atau sistem MPR itu pengejawantahan dari negara semua untuk semua. Pengejawantahan negara Gotongroyong. Oleh sebab itu, sistem keanggotaan MPR adalah keterwakilan. Maka disebut utusan golongan. Bukan keterpilihan dari hasil banyak-banyakan suara. Yang menghasilkan mayoritas yang banyak suaranya, minoritas yang sedikit suaranya.

Model menang kalah, banyak-banyakan suara Pilkada, Pilsung, seperti ini bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika sekaligus bertentangan dengan Pancasila. Panca Sila itu antitesis dari Individualisme, Librralisme, Kapitalisme. Yang melahirkan kolonialisme penjajahan dan menimbulkan perang dunia kesatu dan perang dunia kedua.

Oleh sebab itu pendiri negeri ini tidak mau memilih sistem Presideseil atau Parlementer. Sebab kedua sistem ini basisnya individual. Maka dilahirkanlah sistem sendiri yang disebut sistem MPR berbasis gotong royong, tolong menolong, kebersamaan.

Jadi seluruh elemen bangsa duduk di MPR sebagai utusan golongan bertugas merumuskan politik rakyat yang disebut GBHN.
Setelah itu dipilih Presiden untuk menjalankan GBHN. Preiden adalah mandataris MPR, bukan petugas partai seperti saat ini.

Jadi jika MK sudah menentukan pemenang pilpres kita semua harus menerima dan mendorong segerah kembali ke UUD 1945 dan Pancasila kembali pada jati diri bangsa Indonesia dan mengembalikan sistem MPR tidak perlu lagi kita melakukan pertarungan banyak banyakan suara yang menyisahkan perpecahan dan permusuhan.

Marilah Renkonsiliasi Nasional dengan kembali pada Pancasila dan UUD 1945.
Tidak perlu ada nya Oposisi yang kita butuhkan persatuan dan gotong royong dengan menjadikan Pancasila sebagai Leitstar Dinamis dan Meja statis.

Jangan lupa temukan juga kami di Google News.