Koma.id- Pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md, telah melakukan langkah hukum dengan resmi mendaftarkan permohonan gugatan sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 21 dan 23 Maret yang lalu.
Langkah ini diambil menyusul penetapan pemenang Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan calon nomor urut 2, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemenang pada 20 Maret.
Kedua pasangan calon tersebut memohon agar Pemilu diulang tanpa keikutsertaan pasangan calon nomor urut 2. Permintaan ini menjadi sorotan banyak pihak, termasuk Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, yang menyatakan bahwa permintaan untuk mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran terlalu berlebihan.
Sementara itu, sebagian pihak, seperti Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, berpendapat bahwa gugatan yang diajukan oleh pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bisa saja dikabulkan oleh MK jika dapat memberikan bukti yang meyakinkan bahwa terjadi kecurangan dalam skala yang besar dan terstruktur.
Menanggapi hal ini, terdapat polarisasi pendapat di antara para pengamat dan politisi mengenai keabsahan gugatan tersebut. Sementara beberapa pihak menilai bahwa gugatan tersebut merupakan hak yang sah dalam sistem hukum demokratis, yang bertujuan untuk menegakkan keadilan dan transparansi dalam proses pemilihan umum, ada juga yang mengkritik langkah tersebut sebagai upaya untuk merusak stabilitas politik dan mengganggu legitimasi pemerintahan yang telah terpilih.
Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa langkah ini akan menjadi bahan pembahasan hangat dalam ranah politik dan hukum Indonesia dalam beberapa waktu ke depan, karena Pilpres 2024 dianggap sebagai salah satu momen penting dalam sejarah politik Indonesia yang dapat menentukan arah dan masa depan negara.