Oleh : Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH. Ahli hukum narkotika, Dosen Universitas Trisakti, mantan KA BNN
Koma.id – Kecelakaan legislasi dalam pembuatan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, mengakibatkan lebih dari 200 terpidana mati perkara narkotika terkendala eksekusinya, ada yang sudah di atas 10 tahun bahkan ada yang diatas 20 tahun belum dieksekusi.
Pelaksanaan eksekusi terpidana mati terkendala karena terjadi konflik hukum Internasional dan hukum narkotika yang berlaku di Indonesia.
Akibat konflik hukum tersebut, setiap mengeksekusi terpidana mati warga negara asing mendapat perlawanan hukum dari negara lain yang berkepentingan.
Karena Indonesia dianggap tidak konsekwen, dimana Pemerintah dan DPR mengadopsi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya menjadi UU no 8 tahun 1976 tetapi dalam membentuk UU narkotika tidak diimplementasikan.
Berdasarkan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 protokol yang merubahnya, bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika berupa hukuman badan / pengekangan kebebasan /pemenjaraan dan perampasan aset hasil kejahatannya.
Khusus terhadap kejahatan penyalahgunaan narkotika, pelakunya (penyalah guna) diberikan alternatif hukuman atau hukuman pengganti berupa rehabilitasi.
Pemerintah dan DPR dalam membuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika memberlakukan pidana mati.
Konvensi Internasionalnya.
Dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya menyatakan bahwa bentuk hukuman bagi pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika disepakati berupa hukuman badan /pengekangan kebebasan /pemenjaraan dan perampasan aset hasil kejahatan dengan pembuktian terbalik di pengadilan.
Khusus bagi penyalah guna narkotika bentuk hukumannya disepakati diberikan hukuman aternatif/pengganti berupa menjalani rehabilitasi agar sembuh dan pulih dari sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya.
Kejahatan peredaran gelap narkotika juga disepakati sebagai kejahatan trans nasional, diperlukan kerjasama internasional dalam proses penegakan hukum dalam menanggulangi masalah narkotika tanpa harus mewajibkan melalui jalur diplomatik.
Sedangkan terhadap penyalah guna narkotika, disepakati sebagai urusan domistik masing masing negara dengan penekanan pentingnya rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika, dan bila melanggar hukum maka sanksinya berupa sanksi pengganti yaitu rehabilitasi.
Sanksi dalam UU narkotika.
Dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mencantumkan, ancaman pidana bagi pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika berupa pidana minimum dan pidana maksimum, pidana denda serta pidana mati.
Khusus bagi penyalah guna narkotika, ancamannya berupa pidana maksimum 4 tahun (kurang dari 5 tahun), tanpa pidana denda.
Hakim yang mengadili perkara tersebut diberi kewajiban dan kewenangan dapat menjatuhkan sanksi menjalani rehabilitasi jika terbukti bersalah, dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Kewenangan “dapat” memutuskan dan menetapkan menjalani rehabilitasi yang diberikan UU kepada hakim sebagai kewajiban.
Karena tujuan dibuatnya UU (pasal 4) adalah menjamin penyalah guna dan pecandu mendapatkan upaya rehabilitasi agar pulih seperti sedia kala dan dapat melakukan reintegrasi dalam kehidupan masarakat.
Pertanyaannya, kenapa secara empiris hakim menjatuhkan hukuman “penjara” bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika ?
Eksekusi terpidana mati.
Secara hukum internasional eksekusi pidana mati sah dilaksanakan karena Konvensi tunduk pada yuridiksi negara, tetapi eksekusi terpidana mati perkara narkotika warga negara asing faktanya terkendala, bahkan sekarang ini lebih dari 200 terpidana mati perkara narkotika yang belum dieksekusi.
Ketika eksekutor melaksanakan eksekusi terpidana mati, terjadilah keretakan hubungan diplomasi dengan negara sahabat yang warga negaranya dieksekusi, padahal eksekusi pidana mati perlu dilaksanakan demi kepastiaan hukum.
Kalau terpidana mati tidak dieksekusi untuk apa pengadilan menjatuhkan hukuman mati sampai inkrah ?
Pertanyaannya, kenapa Mahkamah Agung tidak mendegradasi hukuman mati yang dijatuhkan oleh hakim dibawahnya, sehingga tidak menyulitkan eksekutor dalam melaksanakan tugasnya dan menyulitkan pemerintah dalam hubungannya dengan negara lain ?
Itu sebabnya para Hakim dilingkungan Mahkamah Agung yang memeriksa perkara narkotika harus membaca UU narkotika secara sungguh sungguh, termasuk sumber hukum UU narkotika agar memahami kekhususan UU narkotika.
Sehingga dalam memeriksa dan memutuskan perkara narkotika untuk dikonsumsi, hakim berpedoman ketentuan khusus yang diatur dalam pasal 127 , pasal 4, pasal 54, pasal 55 dan pasal 103 UU narkotika dan mengesampingkan ketentuan umum yang diatur dalam KUHAP dan pasal 10 KUHP
Saran dalam membuat UU narkotika.
Menyelaraskan ancaman pidana dalam UU narkotika dengan ancaman pidana dalam UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya, sebagai UU Dasar khusus dalam membentuk UU narkotika di Indonesia.
Terhadap kejahatan narkotika diancam secara pidana, minus ancaman pidana mati, dan khusus terhadap penyalah guna narkotika diancam secara pidana dengan sanksi alternatif/pengganti berupa menjalani rehabilitasi.
Terhadap 200 an terpidana mati dimana sebagian besar warga negara asing, bila sudah menjalani hukuman pidana selama 10 tahun atau lebih di Indonesia, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan negara lain agar dapat melakukan transfer terpidana narkotika ke negara asal dari pada jadi masalah.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
Penulis : Dr Anang Iskandar SH, MH
Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.
Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.
Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detil hukum kasus narkotika di Indonesia. Baru saja meluncurkan buku politik hukum narkotika